Kasus Perceraian di Sikka
Oleh Frans Anggal
Dua bersaudara, Linda Puspita Rahmadani (19) dan Muhamad Sidik Budianto (16), menolak tegas rencana pelelangan rumah milik ayah dan ibu mereka yang sudah bercerai. Pelelangan akan dilakukan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kupang melalui Pengadilan Agama Maumere (Flores Pos Jumat 7 Mei 2010).
Rumah itu hasil keringat sang ibu, Siti Jamiatun (tergugat). Namun, sertifikatnya atas nama sang ayah, Supardi (penggugat). Sejak kecil, kedua anak mereka diurus ibu seorang diri. ”Ayah tidak membiaya hidup dan pendidikan saya dan adik saya,” kata Linda. Demi membiaya hidup dan pendidikan anak-anak inilah sang ibu menjadikan rumah itu salon.
Kalau rumah itu dilelang, hasilnya dibagi dua. Setengahnya untuk sang ayah, yang tidak berkeringat menghasilkan rumah, yang tidak menafkahi keluarga, dan tidak membiaya pendidikan anak-anak. Sisanya untuk sang ibu, ’pemilik’ rumah sesungguhnya, yang membiaya hidup dan pendidikan anak-anak, justru dengan mengandalkan rumah itu sebagai salon.
Apa jadinya nasib kedua anak dengan pembagian seperti ini? Itu bukan urusan hukum, kata Panitera Pengadilan Agama Maumere, Zaitun. ”Menurut hukum Islam, harta gono gini bagi dua, bukan bagi tiga.” Jadi, ”jangan dicampuradukkan dengan urusan lain seperti menafkahi anak dan pendidikan anak. Sepanjang orangtua masih hidup, yang namanya nafkah, pendidikan, menjadi tanggung jawab orangtua.”
Masalahnya justru di situ. Kedua orangtua masih hidup. Maka, semestinya kedua orangtua bertanggung jawab atas nafkah dan pendidikan anak. Namun, de facto, yang bertanggung jawab hanya sang ibu. Andalannya menunaikan tanggung jawab itu adalah rumah itu tadi. Akibat perceraian, andalan ini harus dibagi dua. Bagi dua itu melipatduakan beban tanggung jawab sang ibu. Ibaratnya, sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Bukan hanya dia. Kedua anak itu pun ikut terjatuh dan tertimpa tangga.
Jadi, sebenarnya, tidak hanya secara empirik, secara logis sekalipun pelelangan rumah itu tidak bisa dipisahkan dari dampaknya bagi kedua anak. Karena itu, tidak mungkinlah untuk tidak ’mencampuradukkan’ kedua hal itu. Kalau dari segi hukum mungkin tidak, dari segi keadilan tidak mungkin tidak. Hukum mungkin tidak mempertimbangkan nasib anak-anak itu. Akan tetapi, keadilan pasti akan mendiskusikannya sebagai masalah etis.
Sisi etis inilah yang kita lihat, apa pun agama yang kita anut. Pandangan dari sisi ini pulalah yang mendorong Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Sikka, Tim Relewan untuk Kemanusiaan Flores (TRuK-F), dll sehati dan sesuara. Bersama kedua anak, mereka yang notabene berbeda-beda agama ini menyerukan: batalkan rencana pelelangan rumah.
Pesan apa yang ada di balik spirit mereka? Pesan yang sangat indah. Dalam keberbedaan agama, kita tetap dipersatukan oleh kemanusiaan. Agama kita boleh berlainan, kemanusiaan kita tidak. Kemanusiaan kita tetap satu: Kemanusiaan Yang Maha Esa! Dengannya, penghayatan dan pengamalan ketuhanan kita pun menjadi tepat: Ketuhanan Yang Adil dan Beradab!
Dengan pesan ini, kita menitipkan harapan untuk Pengadilan Agama Maumere. Putusan hukum dan eksekusi hendaknya benar-benar berkeadilan dan berperikemanusiaan. Dengan kata lain, yang diperlukan adalah perlengkapan melebihi apa yang disediakan oleh hukum. Kalau memang bisa, kenapa tidak.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 12 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar