Titik Batas Wilayah Ngada-Manggarai
Oleh Frans Anggal
Warga Rio Minsi, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, memblokir jalan di perbatasan Ngada-Manggarai. Pemblokiran dipicu tindakan seorang kontraktor Manggarai yang merintis jalan dan menurunkan material di jembatan Ngangas. Padahal, wilayah itu sudah di-status quo-kan oleh Gubernur NTT sejak 2007. Tidak boleh ada kegiatan pembangunan oleh kedua pemkab sebelum persoalan titik batas diselesaikan pemprov (Flores Pos Kamis 29 April 2010).
Tindakan sang kontraktor hanyalah pemantik penyulut api. Bensinnya, kekecewaan warga Rio Minsi terhadap ’janji’ surat gubernur 30 Juli 2007. Isinya, antara lain, penyelesaian batas wilayah itu difasilitas pemprov paling lama dalam tiga tahun. Tiga bulan lagi, ’janji’ itu genap tiga tahun. Realisasinya? Nol. Warga kecewa. Bensin ini pun mengobarkan api begitu ’dikacik’ pemantik sang kontraktor.
Beberapa hal cukup jelas di sini. Pertama, tindakan warga memblokir jalan itu salah. Maka, langkah pengamanan oleh Pemkab Ngada sangat tepat. Yang penting, kedepankan persuasi. Kedua, kekecewaan warga bisa dimengerti. Demikian juga, tuntutan mereka agar gubernur datang ke lokasi. Itu ungkapan kekecewaan saat hati panas. Maka, persuasi dengan kepala dingin sangat diperlukan.
Yang perlu diingat, langkah pengamanan hanyalah pengkondisian. Bukan penyelesaian persoalan. Penyelesaian tetaplah di tangan gubernur. Karena itu, gubernur jangan memperpanjang dan memperdalam kekecewaan warga. Tepati ’janji’. Tiga bulan lagi, tenggat penyelesaian berakhir. Kepepet memang, tapi masih ada waktu. Manfaatkan, kalau tidak ingin dicap pembohong.
Penyelesaiannya seperti apa, itu urusan gubernur. Kendati demikian, kita perlu awaskan beberapa hal. Penyelesaian di Rio Minsi akan menjadi preseden. Bisa mengakhiri tapi bisa juga membuka peluang dipersoalkan kembalinya banyak titik batas kabupaten di NTT. Sebagiannya masih tersembunyi. Tidak mustahil, semua yang tersembunyi itu akan mencuat, terbuka, dan meningkat seperti di Rio Minsi kalau kasus Rio Minsi salah urus dan salah putus.
Dalam kasus Rio Minsi, kita heran sekaligus cemas. Titik batas dua kabupaten, yang notabene sudah lama disepakati, koq dipersoalkan kembali. Tidak oleh pemerintah, tapi oleh masyarakat, atas dasar ikatan primordial. Ini tidak boleh dibiarkan kalau kita sudah bersepakat hidup bernegara.
Dalam hidup bernegara, kita adalah warga negara, bukan kumpulan umat. Batas saya dan Anda adalah ayat konstitusi. Bukan ayat Kitab Suci. Bukan pula warna kulit dan jenis rambut.
Dalam konteks ini, warga Ngada berarti warga negara Indonesia ber-KTP Ngada. Bukan warga suku Ngada ber-KTP Indonesia. Demikian pula, warga Manggarai berarti warga negara Indonesia ber-KTP Manggarai. Bukan warga suku Manggarai ber-KTP Indonesia.
Jadi, semuanya warga negara Indonesia. Kalaupun ada pembedaan, maka hanya ada dua jenis warga negara. Yang taat hukum dan yang tidak taat hukum. Kenapa? Karena, negara hanya boleh membedakan warga negaranya atas satu alasan: bertindak kriminal atau tidak.
Perspektif ini sangat penting. Termasuk, dalam menyelesaikan titik batas Ngada-Manggarai pada kasus Rio Minsi. Tanpa perpektif ini, kasus Rio Minsi akan salah urus dan salah putus. Dan bila itu terjadi, maka banyak titik batas kabupaten di NTT akan dipersoalkan kembali. Bukan oleh pemerintah, tapi oleh masyarakat, atas dasar ikatan primordial. Ini yang tidak boleh terjadi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 30 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar