Peresmian Pusat Pangan Lokal di Ende
Oleh Frans Anggal
SMKK Muctyaca Ende bikin terobosan. Sekolah Yayasan Bina Wirawan milik kongregasi CIJ ini dirikan Pusat Pangan Lokal. Dikelola unit usaha sekolah, Sint Revill, di Jalan Melati. Diresmikan bupati Ende, Selasa 25 Maret 2010.
Usaha ini ungkapan kepedulian sekaligus penghargaan terhadap budaya Ende Lio yang diwariskan nenek moyang, kata Suster Martini CIJ, pimpinan Sint Revill. ”Kebiasaan nenek moyang sudah mulai hilang. Generasi masa kini lebih menyukai makanan instan dengan peralatan mewah tanpa peduli dampaknya” (Flores Pos Selasa 25 Maret 2010).
Justru di situlah tantangannya. Pangan lokal vs makanan instan! Ini bukan sekadar perang selera, tapi perang bisnis. Bukan sekadar bisnis lokal, tapi bisnis global. Dalam bisnis global makanan, gandum belum terkalahkan. Dan dari semua turunan gandum, mi instan terdepan. Ia telah jadi makanan dunia. Dari New York sampai kampung terpencil di Ende.
Kenapa bisa begitu? Banyak faktornya. Salah satunya, strategi pasar. Dan salah satu strategi pasar adalah upaya pe-lokal-an dengan cara mengusung simbol-simbol nasionalis. Simaklah ”jingle” (lagu) iklan salah satu produk mi instan di Indonesia. Kata-kata awalnya pakai lirik lagu nasional: ”Dari Sabang sampai Marauke ...” Akhirnya: ”... (mi instan) seleraku.”
Menurut Monika Eviandaru (2001), bukan ”jingle” atau kemasan yang seolah-olah nasionalis itulah yang akan membentuk simbol kebersamaan dan solidaritas aksi. Melainkan, pengalaman, pemahaman, dan penilaian atas konsumsi populer. Adapun ”jingle” hanyalah bagian kecil dari sebuah usaha besar, bernama strategi pasar.
Tantangan bagi Pusat Pangan Lokal justru di sini. Strategi pasar macam apa yang akan ditempuh agar pangan lokal benar-benar menyentuh pada pengalaman, pemahaman, dan penilaian masyarakat konsumen. Dengannya, pangan lokal bisa menjadi konsumsi populer di Kabupaten Ende.
Ini tidak gampang. Selain strategi pasar yang dituntut tidak bisa asal-asalan, pesaing utama pangan lokal justru sudah duluan menasional. ”Dari Sabang sampai Marauke .... (mi instan) seleraku.” Bahkan sudah lama mengglobal. Berterima oleh masyarakat dunia, dari New York sampai kampung terpencil di Kabupaten Ende.
Di hadapan tantangan sedahsyat ini, penyebutan oleh anggota DPRD Ende Yustinus Sani tidak meleset. Pusat Pangan Lokal merupakan rencana dan karya besar CIJ, demi Ende Lio Sare Pawe. Karena itu, Sint Revill, SMKK Muctyaca, CIJ tidak boleh sendirian. Dan tidak boleh dibiarkan sebatang kara. Mereka perlu didukung. Oleh masyarakat dan pemerintah.
Tepat! Lagi pula, Pusat Pangan Lokal merupakan respon cepat dan tepat dari lembaga pendidikan terhadap program Pemkab Ende: Gerakan Swasembada Pangan (GSP) 2012. Respon lainnya, berupa lagu. Diciptakan Amatus Peta, kepala SMA Negeri 1 Ende: ”Nua Ola Iwa Lowa Moa”. Ajakan berswasembada pangan: tanam dan konsumsi pangan lokal, jangan bergantung pada bantuan luar. Lagu ini sudah di-lomba-pop-singer-kan.
Respon seperti ini sudah bagus. Pertanyaan kita: apa respon balik pemerintah? ”Pemerintah perlu menopangnya dengan promosi dan dana,” kata Yustinus Sani. Tepat! Ini bagian penting dari strategi pasar. Strategi pasar yang kuat akan menjadikan (kembali) pangan lokal tuan rumah di daerah sendiri. Kita impikan, suatu saat nanti, anak-anak Ende menyanyikan ”jingle” iklan tadi dengan lirik baru. ”Dari Sabang sampai Marauke ... Uwi ndota seleraku.”
“Bentara” FLORES POS, Rabu 26 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar