Saat Duka dan Derita Datang
Oleh Frans Anggal
Seorang bocah lima tahun, Taufik, dipanggil Uik, hilang terseret banjir drainase Jalan Gatot Subroto, Ende, Rabu 5 Mei 2010. Hari itu Ende diguyur hujan. Uik dan empat temannya bermain. Main ban ban sepeda motor. Ban Uik masuk got yang airnya deras. Uik turun ambil. Saat itulah ia terhanyut (Flores Pos Kamis 6 Mei 2010).
Pencarian hingga hari kedua. Saluran air disusuri hingga muara Pantai Bitta. Genangan air muara disedot guna memudahkan pancarian. Gundukan pasir dan sampah dikeruk dengan alat berat. Uik belum juga ditemukan. (Flores Pos Jumat 7 Mei 2010).
Baru pada pencarian hari ketiga, Jumat 7 Mei, usaha itu berhasil. Jenazah Uik terapung jauh di perairan Arubara. Ditemukan oleh nelayan.
Kita turut berduka. Semoga keluarganya diteguhkan. Semoga kita dapat memetik hikmahnya. Sebagai orangtua, anggota masyarakat, aparat pemerintah. Hilangnya Uik, kelengahan kita. Pengawasan kita lemah. Drainase kota kita tidak aman.
Di balik dukacita ini, ada mutiara indah berkilau. Begitu tanggapnya dan begitu cepat tergeraknya hati masyarat dan pemerintah. Mereka bahu-membahu melakukan pencarian. Warga bergandeng tangan dengan personel Polisi, Brimob, Tagana, dan KP3 Laut. Hari pertama, Wabup Achmad Mochdar turun ke lokasi. Hari kedua, Kapolres Bambang Sugiarto.
Voluntarisme. Itulah mutiara indah milik masyarakat kota Ende. Kesukarelaan membantu sesama, khususnya yang kecil, lemah, menderita, dan berduka. Voluntarisme dalam kasus Uik hanyalah satu contoh. Masih banyak contoh lain. Di antaranya, setiap kali Flores Pos membuka dompet amal, masyarakat kota Ende-lah yang paling cepat tanggap dan paling banyak menyumbang.
Mengapa? Secara umum, mungkin karena gotong royong itu ciri khas bangsa kita, dan perikemanusiaan salah satu falsafah negara kita, Pancasila. Secara khusus, mungkin karena masyarakat kota Ende paling majemuk di Flores. Dalam kemajemukannya, mereka berjuang keras untuk hidup. Tumbuhlah rasa saling membutuhkan, melindungi, menolong. Dari sinilah voluntarisme itu lahir.
Bagi Ende yang lebih baik, voluntarsime merupakan modal sosial yang sangat berharga. Tidak hanya demi kemanusiaan yang adil dan beradab, tapi juga demi pengembangan demokrasi yang sehat. Masyarakat demokratis yang sehat bukanlah sekadar masyarakat yang individunya mengejar tujuan pribadi. Tapi, masyarakat yang individunya menggunakan kebebasannya untuk berpartisipasi dalam seluruh aspek kehidupan bersama.
Bertolak dari pemahaman demokrasi inilah voluntarisme perlu dikembangkan. Tujuannya, menjaga agar kebebasan masyarakat tidak diambil alih oleh negara. Sebab, sejarah banyak negara membuktikan, ketika masyarakat menyerahkan pengelolaan semua urusannya kepada negara, maka pada saat itu pula negara sewenang-wenang. Negara sesukanya menetapkan persyaratan yang memberatkan masyarakat, bahkan meniadakan kebebasan masyarakat.
Ende, kota kelahiran Pancasila, punya Lapangan Pancasila, punya Monumen Pancasila, kiranya tetap mencirikhasi dirinya dengan voluntarisme yang jelas-jelas pancasialis. Jangan ia pudar oleh gesekan SARA. Biarkan ia tetap berkilau, seindah mutiara yang tampak ketika warga bahu-membahu mencari Uik.
Uik akhirnya ditemukan tak bernyawa. Menyedihkan. Namun, pencariannya telah menyingkapkan kecerlangan sebuah voluntarisme. Bahwa, warga kota ini masih seperti dulu. Cepat tanggap dan tergerak hati membantu sesama, khususnya yang kecil, lemah, menderita, dan berduka.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 8 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar