28 Mei 2010

Ketika Anak Itu Bunuh Diri

Gantung Diri di Ruteng Manggarai

Oleh Frans Anggal

Seorang anak 12 tahun, kelas enam SD, tewas gantung diri di rumahnya di Ruteng, Manggarai. Motifnya masih diselidiki polisi. Sebelumnya, ia bertengkar dengan kakaknya soal HP. Usai bertengkar, sang kakak keluar dengan sepeda motor. Saat kembali, ia temukan adiknya dalam kamar, tergantung dengan tali rafia di leher. Ia bawa ke rumah sakit karena tubuhnya masih hangat. Ternyata sang adik sudah meninggal (Flores Pos Rabu 26 Mei 2010).

Apakah pertengkaran itu yang menyebabkan anak ini bunuh diri? Merujuk kajian tentang bunuh diri yang dilakukan E. Ringel (1953), kita pastikan: tidak. Salah satu tesis pokok Ringel menyebutkan, faktor situasi saja tidak dapat mengakibatkan perbuatan bunuh diri. Betapapun sulitnya situasi itu.

Dalam kasus di atas, peristiwa pertengkaran hanyalah sebuah situasi. Sama halnya dengan peristiwa murid tidak naik kelas, remaja putus cinta, orang dewasa putus hubungan kerja, dll. Menurut Ringel, situasi tidak dapat melumpuhkan sikap dan keputusan pribadi seseorang.

Kalaupun ada kaitannya dengan bunuh diri, situasi itu hanyalah faktor pencetus. Bukan penyebab. Ia hanyalah percikan api, kecil, tapi mengobarkan nyala besar dan menghanguskan, justru karena sudah ada bensinnya. Yakni, pengalaman dalam masa kanak-kanak dan perkembangan kepribadian sang anak. Sayang, bensin ini sering tersembunyi dalam tangki, sehingga luput dari perhatian.

Bensin itu dinamakan Ringel ’gejala awal bunuh diri’ (presuicidal syndrom). Ada tiga gejala. Pertama, penyempitan: kurang semangat, lesu, malas, picik. Hubungan dengan dunia luar terputus. Hanya perhatikan diri sendiri. Kedua, agresivitas: terhadap orang lain dan apa saja. Jika agresi tersalur, keinginan bunuh diri hiang. Jika tidak, agresi akan mengarah ke diri sendiri, menghancurkan diri sendiri, bunuh diri. Ketiga, pelarian ke fantasi: makin lama, fantasi makin dianggap nyata. Akhirnya, tindakan ditentukan oleh fantasi.

Dengan presuicidal syndrom, situasi apa pun bisa memicu bunuh diri. Karena, bensin dalam diri sudah ada, tinggal disulut percikan api dari luar. Dengan presuicidal syndrom, pertengkaran soal HP bisa menjadi pencetus pengarahan nafsu agresi terhadap diri sendiri. Dalam kasus di atas, sang adik yang masih kecil tentu tidak bisa mengalahkan sang kakak yang sudah besar. Nafsu agresinya tidak tersalur. Ini titik kritisnya, sekaligus yang membedakanya dari anak normal.

Pada anak normal, agresi tidak diarahkan ke diri sendiri, tapi ke objek yang dilawan. Atau, kalau tidak bisa, ke objek penggantinya. Kalau mengalahkan kakak secara fisik tidak bisa, barang-barang milik kakak dibuang, dirusakkan, dll. Itu pada anak normal.

Pada kasus di atas, yang terjadi tidak demikian. Ganti kakak sang lawan bertengkarnya, si adik menjadikan dirinya sendiri objek nafsu agresinya. Ia menghancurkan dirinya sendiri. Ia bunuh diri dengan cara gantung diri.

Kita sedih. Semestinya ia bisa ditolong, kalau orangtua dan guru mengenal kepribadiannya dan peduli. Bagi anak pengidap presuicidal syndrom, saat usai pertengkaran seperti itu adalah saat kritis. Ada keinginan mengakhiri hidup, tapi juga sesungguhnya kerinduan diperhatikan, ditolong, dibimbing. Ini yang tidak ia dapatkan. Ia akhirnya memilih jalannya, dalam kesendirian.

Kasus ini kasus pertama yang diberitakan Flores Pos sejak hadirnya koran ini sebelas tahun silam. Kasus langka. Kita khawair, mungkin ini juga sebuah fenomena gunung es. Itu tidak mustahil. Sebab, dunia semakin tidak ramah anak. Anak diterlantarkan, secara psikologis dan sosial. Di sekolah, di rumah, mereka diajar dan dihajar, tapi tidak dididik. Menyedihkan.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 27 Mei 2010

Tidak ada komentar: