Anjloknya Persentase Kelulusan UN 2010
Oleh Frans Anggal
Sehari jelang Hardiknas 2 Mei 2010, Dinas PPO Kabupaten Ende menggelar ceramah ilmiah di aula SMAK St Petrus. Salah satu rekomendasinya: pemkab dan DPRD perlu membuat perda tentang pendidikan. Rekomendasi ini lahir dari masukan para pembicara dan peserta (Flores Pos Rabu 5 Mei 2010).
Selain menghasilkan rekomendasi penting itu, kegiatan ini menarik. Salah satu pembicaranya seorang siswa. Yustina Nona, dari SMAK Syuradikara. Ia disandingkan dengan pembicara lain: wakil pemerintah, DPRD, PGRI, dan guru.
Di hadapan peserta yakni para guru dan siswa utusan sekolah-sekolah, Yustina tidak menyalahkan pihak lain sebagai penyebab utama anjloknya persentase kelulusan ujian nasional di Kabupaten Ende. Penyebab utamanya bukan siapa-siapa, tapi siswa sendiri. Bermental instan. Mau gampangnya saja. ”Siswa hanya bermimpi untuk lulus, tapi tidak pernah belajar.”
Yustina jujur. Kejujuran yang sama ada pada diri hampir semua siswa. Bedanya, Yustina jujur dalam forum resmi. Lainnya jujur dalam forum tidak resmi. Forum obrolan di pinggir jalan. Forum face book di internet. Forum SMS di HP. Sekadar menangkap kejujuran mereka, simaklah bunyi SMS berikut, yang mungkin juga ada dalam kotak masuk HP anak Anda.
”PRASETIA PELAJAR. HobBy nyA NgEgOSip. SOrGa nyA hIbUran. NraKa nyA uLaNgan. BaHaGiA nyA pAcArAn. No Woman, nO cRy.... No schOol, nOnGKrOnG.... No mON3y, nOdhOnG.... No mOtOr, nebenG.... No sTuDy, BOLOZ....”
Kata mereka, SMS gaul ya harus begitu. Huruf besar kecil dicampur aduk. Makin sulit dibaca, semakin keren. Pokoknya, harus langgar pedoman EYD. Harus langgar arahan guru bahasa Indonesia. Itu baru cara tulisnya. Isinya? Alamak! Gosip jadi hobi. Hiburan jadi surga. Ulangan dianggap neraka. Pacaran, itu yang bikin bahagia. Sebab, tanpa wanita, tak ada airmata, sepi. Kalau tidak ke sekolah ya nongkrong. Kalau tak punya duit ya todong. Kalau tak punya motor ya nebeng. Kalau tidak studi ya bolos.
Bapak ibu guru yang terkecoh oleh sopannya anak didik bisa terjengkang karena kaget. Orangtua jantung lemah yang mengira anaknya manis-manis saja bisa menggelepar di tempat. Bayangkan kalau isi SMS itu benar-benar cerminan anutan para pelajar. Bayangkan kalau semua penjungkirbalikan nilai itu sungguh-sungguh menjadi prasetia mereka. Ancor sudah kita punya anak-anak.
Kekhawatiran seperti itu mungkin berlebihan. Sebab, SMS itu cuma humor antar-pelajar. Kendati demikian, tidak boleh dianggap remeh juga. Sebab, humor tidak lahir dari kehampaan. Meski tidak seluruhnya, sebagian isi SMS itu mencerminkan cara berpikir, bersikap, dan bertindak mereka. Minimal, yang berkenaan dengan sekolah.
Bandingkan saja isi SMS itu dengan pernyataan Yustina dalam forum resmi tadi. Sejauh menyangkut sekolah, isinya sama, meski formulasinya berbeda. Yustina mengaku jujur: siswa bermental instan. Mau gampangnya saja. Hanya bermimpi untuk lulus, tapi tidak pernah belajar. Isinya sama dengan isi SMS, bukan? Ulangan dianggap neraka. Kalau tidak ke sekolah ya nongkrong. Kalau tidak ada studi ya bolos.
Memprihatinkan, memang. Namun, kita tetap acungkan jempol. Merela telah jujur tentang diri mereka sendiri. Karena itu, jangan sia-siakan kejujuran mereka. Dalam kaitan dengan desakan agar pemkab dan DPRD Ende membuat perda tentang pendidikan, pertanyaan berikut menjadi penting. Apa yang bisa dilakukan perda tersebut untuk mencegah dan mengatasi mental instan para pelajar?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 6 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar