Jangan Gadaikan Persaudaraan demi Pemilukada
Oleh Frans Anggal
Dua pekan setelah ditahbiskan, Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng keluarkan surat gembala. Isinya antara lain tekankan persaudaraan dalam pemilukada. Persaudaraan tidak boleh digadaikan (Flores Pos Selasa 4 Mei 2010).
Surat gembala perdana ini tepat waktu dan tepat konteks. Dua dari tiga kabupaten, dalam wilayah kegembalan sang uskup, tengah demam pemilukada. Manggarai dan Manggarai Barat. Menuju hari-H 3 Juni 2010, suasana makin panas. Suhunya terasa hingga Manggarai Timur.
Yang hadiri beberapa kali sang uskup angkat bicara pasti menangkap, selain rusaknya lingkungan hidup, rusaknya persaudaraan oleh politik kekuasaan merupakan keprihatinan sang uskup. Surat gembala ini merupakan penekanan, penyempurnaan, dan penyebarluasan pesan yang pernah ia sampaikan.
Sebagian intisari sudah ia sampaikan pada khotbah misa pontifikal di Katedral Ruteng (Kamis 15 April 2010), sehari setelah penahbisannya di Lapangan Motang Rua (Rabu 14 April). Kala itu, ia berpesan dalam bahasa ”Manggarnesia” (Manggarai campur Indonesia). Sebuah cara melekatkan pesan ke hati umat.
”Toe di’an agu nangki laing cemoln, eme ite behas neho kena, koas neho kota, gara-gara jabatan dan kuasa,” tandasnya. Tidak baik dan akan sangat buruk akibatnya kelak, kalau kita mudah dibongkar seperti pagar, dan gampang diruntuhkan seperti susunan bebatuan, hanya karena jabatan dan kuasa.
Pada audiensi dengan Pemred Flores Pos di Istana Keuskupan Ruteng, Sabtu 17 April 2010, Uskup Hubert menyatakan, pesan tersebut akan terus ia suarakan. Ini menunjukkan, betapa ia prihatian dengan apa yang sudah dan khawatir dengan apa yang akan terjadi. Ia tidak ingin umatnya terpecah belah karena jabatan dan kuasa yang diperebutkan dalam pemilukada.
”Jabatan itu cuma 5-10 tahun,” urainya lebih praktis. ”Kalau jabatan itu hilang, sementara ase-ka’e (adik-kakak) pecah belah, kita lari ke mana? Kalau keluarga tetap bersatu, biarpun jabatan hilang, kita tetap aman.” Jabatan dan kuasa itu sementara. Persaudaraan, kekeluargaan, dan kekerabatan itu abadi. Maka, jangan korbankan yang abadi untuk sesuatu yang sementara. Jangan gadaikan persaudaraan demi kepentingan pemilukada.
Dalam surat gembalanya, Uskup Hubert mengalamatkan juga pesan kepada hierarki Gereja. Semua kegiatan pastoral harus bersih dari propaganda calon tertentu. Mimbar gereja hanya untuk pewartaan sabda Allah. Tampak, ia meneruskan kebijakan pendahulunya Mgr Eduardus Sangsun SVD (almarhum) beberapa tahun terakhir.
Ada kebiasan lama di Manggarai Raya. Bupati berkunjung ke kecamatan atau desa pada Jumat atau Sabtu, dan bermalam. Pada Minggu, sebelum berkat penutup atau seusai misa, bupati tampil bicara di mimbar gereja. Kebiasaan ini diakhiri dengan adanya larangan dari Uskup Edu. Anehnya, dua pekan jelang penahbisan Uskup Hubert, terjadi pelanggaran di gereja Paroki Kumba, Ruteng.
Hari itu Minggu Palma, 28 Maret 2010. Bupati Manggarai Chris Rotok, incumbent pemilukada, diperkenankan bicara di mimbar gereja. Entah apa dasar dan tujuannya. Mungkin karena ia sudah menyumbang bagi rehabilitasi gereja. Apa yang terjadi? Saat ia dipersilakan naik mimbar, seorang umat dari arah belakang berteriak, sambil meninggalkan gereja: ”Hidup kampanye!”
Ini hanya satu contoh dari banyak pelanggaran lain, dalam aneka modus, di tempat lain. Karena itu, surat gembala Uskup Hubert tidak hanya tepat waktu dan tepat konteks, tapi juga tepat sasaran. Profisiat!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 5 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar