Nasib Seorang Pasien Lakalantas
Oleh Frans Anggal
Seorang korban lakalantas asal Soa, Yohanes Sawo (35), diterlantarkan di UGD RSUD Bajawa. Selama tiga jam ia tidak dihiraukan oleh petugas medis UGD. ”Sejak tadi korban tiba, mereka hanya datang lihat dan tidak mengobati luka yang ada,” kata Yosep Lado, yang membantu mengantar korban ke RSUD (Flores Pos Jumat 21 Mei 2010).
Berulang kali Yosep Lado minta petugas UGD agar berikan pertolongan. Namun permintaannya ditanggapi emosional oleh petugas. Bahkan petugas minta agar korban di bawa pulang. ”Bagaimana kami mau bawa korban pulang, sementara belum mendapat perawatan dan tidak bisa bergerak karena belakang dan rusuknya sakit.”
Lakalantas menimpa Yohanes Sawo di Mataloko. Sepeda motornya menabrak anjing. Dalam keadaan sakit ia menuju RSUD. Belum sampai di RSUD, ia pusing dan terjatuh. Ia ditolong oleh Yosep Lado, yang kemudian mengantarnya ke RSUD. Pukul 11.00 ia masuk. Hingga pukul 14.00 petugas belum berikan pertolongan. ”Saya sudah dari tadi terbaring di sini,” katanya.
Tiga jam tanpa pertolongan medis! Di UGD lagi! UGD itu singkatan dari ”unit gawat darurat”. Nama menjukkan makna. Dari namanya, jelas, yang masuk ke sana adalah pasien yang kondisinya ”gawat”. Karena kondisinya gawat maka pertolongan yang diberikan harus ”darurat”. Artinya, secepatnya, meski sementara, sebelum tindakan medis selanjutnya.
Makna UGD itu tidak berlaku dalam kasus di atas. Kita jadi ragu. Jangan-jangan si korban salah masuk. Mungkin tempat dia terbaring itu bukan ”unit gawat darurat”, tapi ”unit peristirahatan sebelum pulang”. Mungkin karena itulah para petugas emosional ketika didesak memberi pertolongan. Mungkin karena itu pula mereka minta korban dibawa pulang saja.
Atau, boleh jadi, korban masuk ke ruang yang tepat: UGD. Namun, dia dan si pengantar tidak tahu perkembangan di RSUD Bajawa. Siapa tahu, makna UGD di sana sudah berubah. UGD bukan lagi tempat pertolongan pertama yang mengharuskan tindak medis segera. Tapi, katakanlah, sudah menjadi seperti bengkel.
Di bengkel, sepeda motor rusak yang diantar masuk tidak harus ditangani ”darurat”, betapapun ”gawat” kerusakannya. Bisa diparkir dulu berjam-jam, bahkan berhari-hari, sebelum montir lakukan tindakan mekanik. Karena itulah, bengkel, secanggih apa pun, tidak pernah diembel-embeli ”gawat” dan ”darurat” di belakangnya sehingga menjadi ”bengkel gawat darurat”.
Hanya rumah sakit yang punya ”unit gawat darurat”. Karena, rumah sakit merawat manusia sakit, bukan mesin rusak. Di rumah sakit, merawat tidak sebatas diagnosis dan terapi. Merawat adalah juga memperhatikan si pasien. Meringakan deritanya. Membuka kembali hatinya. Memberikan pengaharapan baru dan gairah hidup kepadanya. Membebaskannya dari cengkeraman keputusasaan.
Jadi, pelayanan kesehatan tidak ditujukan semata-mata pada aspek fisik-biologis. Tidak pula identik sebagai pelayanan medis saja. Tapi, pelayanan yang tepadu dan menyeluruh. Karena itu pula, hubungan antara petugas rumah sakit dan pasien tidak hanya merupakan hubungan antara si petugas dan penyakit si pasien. Tapi juga hubungan personal antar si petugas dan si pasien itu sendiri.
Dalam kasus di UGD RSUD Bajawa, hubungan seperti ini tidak tampak. Si korban lakalantas diperlakukan seperti motor rusak. Diparkir berjam-jam. Malah diminta dibawa pulang. Wala, UGD itu bengkel atau apa?
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 22 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar