07 Mei 2010

Ruteng Kota Judi

Fenomena Defisit Moral

Oleh Frans Anggal

”Polisi Kembali Tangkap Penjudi Kartu”. Demikian judul berita utama (headline) Flores Pos edisi Rabu 5 Mei 2010. Kejadiannya di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Pelaku yang tertangkap enam orang. Satu melarikan diri. Barang bukti yang dikumpulkan, kartu dua pak dan uang Rp370 ribu. Pelaku dijerat pasal 303 KUHP dengan ancaman maksimal sepuluh tahun penjara.

Penggunaan kata ”kembali” pada judul berita itu menunjukkan adanya perulangan tindakan. Tindakan berjudi. Dan tindakan menangkap penjudi. Jadi, judi belum lenyap. Polisi belum nyenyak. Ruteng masih menjadi kota judi. Dari yang miskin sampai yang kaya. Dari bapak-bapak sampai ibu-ibu. Dari pengusaha sampai penguasa.

Masih segar dalam ingatan publik Manggarai heboh beberapa tahun silam. Anggota DPRD 2004-2009 tertangkap tangan berjudi kartu. Ada yang sampai masuk penjara. Itu kelas beratnya. Kelas ringannya lebih banyak lagi. Yang mencengangkan: penangkapan sudah berulang-ulang, pemenjaraan sudah berkali-kali, publikasi sudah bertubi-tubi, namun judi belum hilang-hilang.

Belasan tahun lalu, pada masa kegembalaan Mgr Eduardus Sangsun SVD (almarhum), Gereja Keuskupan Ruteng pernah mencurahkan perhatian khusus pada pemberantasan judi. Macam-macam kegiatan. Ada lokakarya. Ada rekoleksi. Ada katekese. Bahkan ada doa khusus. Yang mencengangkan: semuanya itu sudah dilakukan, judi belum hilang-hilang.

Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Menyentuh banyak hal. Menyangkut banyak pihak. Semuanya berjalin berkelindan. Sedemikian ruwetnya mungkin, membuat kita seakan tak mampu lagi mengurainya. Kalau mengurainya sulit, kita toh masih bisa merasakannya. Pada kisah tertangkapnya enam penjudi kartu, perasaan kita dapat menangkap sesuatu yang tidak beres.

Dalam berita tersebut terdapat kutipan singkat. Kutipan tidak langsung, berupa pernyataan salah seorang pelaku. Di hadapan keluarga dan kerabat di ruang pemeriksaan polres, dia mengatakan: kejadian ini tidak disangka-sangka. Artinya apa? Mereka lagi sial! Mereka tidak menyangka polisi tahu. Mereka tidak menyangka polisi incar. Mereka tidak menyangka polisi menggerebek. Sebelum-sebelumnya mereka luput. Kali ini betul-betul sial.

Dari kisah itu, nuansa apa yang tertangkap oleh perasan kita? Judi sudah dianggap sekadar masalah teknis: soal tertangkap atau tidak, luput atau sial. Tidak lagi dilihat sebagai masalah etis: baik atau buruk. Nuansa cerita di balik banyak kasus penangkapan penjudi di Manggarai rata-rata seperti itu.

Tidak terkecuali pada penangkapan beberapa anggota DPRD 2004-2009. Kalau yang ini, malah dicampur bumbu politik. Bahwa, penangkapan mereka permainan lawan politik. Karena itu, tidak ada beban etis pada pundak mereka. Tidak heran, meski pernah tertangkap tangan sebagai penjudi, mereka tetap maju tak malu menjadi caleg periode berikut.

Inilah sesuatu yang tidak beres itu. Yang menyentuh banyak hal. Menyangkut banyak pihak. Berjalin berkelindan sedemikian ruwetnya, membuat kita seakan tak mampu lagi mengurainya. Namun toh kita bisa merasakannya. Apakah itu? Defisit moral!

Para penjudi tahu, judi tidak baik. Namun, itu tetap mereka lakukan. Dengan sengaja dan bebas. Jadi, syarat penilaian etis terhadap perbuatan mereka terpenuhi. Ketika mereka ditangkap polisi, yang etis itu tidak muncul. Yang muncul malah yang teknis. Bahwa, mereka sedang sial sehingga tertangkap. Bukan karena sedang melakukan perbuatan tidak baik. Defisit moral!

“Bentara” FLORES POS, Jumat 7 Mei 2010

1 komentar:

Ansi Firman mengatakan...

Judi memang salah satu penyakit masyarakat manggarai yg sulit diobati..Berbagai upaya seperti yg Bpk katakan spt rekoleksi, kegiatan katakese, doa khusus utk bebas dari jeratan judi ini bahkan upaya hukuman pun seakan tdk membuat efek jera bagi para pelakunya...Penyakit ini rasanya sudah sangat kronis...Apakah sebabnya..?Kalau saya perhatikan,mungkin kebiasaan main kartu dgn taruhan duit saat ada orang meninggal, saat ada pesta pengumpulan dana (kumpul dana u biaya anak pg kuliah selepas SMA) bisa jadi merupakan salah satu sebab mengapa kebiasaan ini seperti mendarah daging dan berurat akar dalam diri org2 manggarai (walaupun tdk semua berkelakuan demikian).Juga kebiasaan kumpul2 bersama tanpa ada maksud yg jelas membuat orang mencari2 kegiatan..Awalnya sekedar hiburan,mngkn menghilangkan stress, tp katanya tidak seru kl tidak dibarengi duit sbg taruhan.Dan kebiasaan jelek spt ini berlanjut menjadi sebuah perilaku yg tdk terpuji..Mental ingin mendapatkan duit dgn cara instan dan tanpa kerja keras jg merupakan salah satu penyebabnya...