Kemelut Pemilukada Flotim 2010
Oleh Frans Anggal
KPU Pusat perintahkan KPU Provinsi NTT mengambil alih penanganan pemilukada Flotim 2010. Alasannya, KPU Flotim melanggar kode etik KPU. Sikap KPU Flotim? Tunggu dan lihat. ”Yang pasti KPU Flotim masih tetap bertahan dengan keputusan penetapan 5 calon bupati dan wakil bupati Flotim itu,” kata jubir Kosmas Kopong Liat Ladoangin (Flores Pos Sabtu 8 Mei 2010).
Dalam keputusannya, KPU Flotim tidak mengakomodasi paket Mondial (Simon Hayon dan Fransiskus Diaz Alffi). Dasarnya, Paraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009. Menurut KPU Pusat, KPU Flotim salah menafsir peraturan tersebut. KPU Flotim diminta mengakomodasi paket Mondial. KPU Flotim bergeming. Maka, turunlah perintah pengambilalihan pemilukada Flotim.
Langkah KPU Pusat tepat. Selain terlalu harfiah menafsir peraturan, KPU Flotim arogan. Dan ini merupakan pengangkangan serius terhadap etika berdemokrasi. Dengan menolak permintaan KPU Pusat, sebenarnya KPU Flotim menolak apa yang oleh demokrasi disebut konsensus. Mengapa menolak konsensus sama dengan mengangkangi etika?
Filosofi di balik konsensus adalah falibilitas manusia. Yakni, penerimaan rendah hati terhadap kemungkinan dapat salahnya manusia. Dengan dasar ini, demokrasi tidak boleh memfinalkan kebenaran politik. Dengan dasar ini pula, setiap obsesi absolutis memfinalkan politik harus disingkirkan.
Etika inilah yang dilanggar KPU Flotim. Dengan tahu dan mau! Simak saja pernyataan jubirnya. ”KPU Flotim tidak akan mengubah keputusan penetapan 5 paket tersebut sepanjang ketua dan anggota belum dinonaktifkan oleh KPU Pusat.” Bahasa populernya: langgar dulu mayat kami, kalau berani! Kalau kami sudah jadi mayat (dinonaktifkan), barulah paket Mondial bisa diakomodasi!
Dengan ini, KPU Flotim pertontonkan tiga kualifikasi diri. Tidak hanya harfiah menafsir peraturan dan arogan, mereka juga nekat. Tampaknya, sikap ini telah mereka bangun dengan kalkulasi tertentu. Simak pernyataan sang jubir. ”Dampak hukum dari penonaktifan ini sangat besar. Tetapi, kami aman. Kan tidak mati juga kalau tidak kerja di KPU.”
Sangat jelas, kalkulasinya kalkulasi bagi diri sendiri: ”... kami aman.” Aman di sini pun tidak dalam pengertian hukum dan moral, tapi dalam pengertian ekonomi dan bisnis: ”Kan tidak mati juga kalau tidak kerja di KPU.” Ini mengerikan! Tanggung jawab kenegaraan menyukseskan demokrasi pemilukada diredukasikan ke kalkulasi perut.
Dengan kalkulasi perut, yang mereka perhitungkan adalah keuntungan diri sendiri, bukan keuntungan warga negara. Padahal, dalam demokrasi, status ontologi warganegara lebih tinggi, bahkan lebih tinggi dari keanggotaan partai politik. Kenapa? Kerena, politik dapat diselenggarakan tanpa partai politik, tapi tidak mungkin tanpa warga negara. Tidak ada demokrasi tanpa warga negara.
Atas dasar itulah, politik perwakilan, termasuk dalam pemilukada, tidak boleh menghilangkan kedaulatan warga negara. Ini prinsip dasarnya. Demokrasi haruslah tetap berdasarkan kedaulatan warga negara, bukan kedaulatan parpol, kedaulatan parlemen, kedaulatan KPU, dll. Semua yang lain ini hanya alat bagi warga negara untuk menjalankan demokrasi.
Ini yang tidak dilihat oleh KPU Flotim ketika mereka harfiah, arogan, dan nekat. Lebih-lebih lagi ketika mereka muarakan semuanya itu ke kalkulasi perut. ”... kami aman. Kan tidak mati juga kalau tidak kerja di KPU.” Secara moral, ”KPU perut” seperti ini terlalu pantas untuk dipecat!
“Bentara” FLORES POS, Senin 10 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar