04 Mei 2010

Masjid Agung di Bajawa

Dipersoalkan Karena Salah Tempat

Oleh Frans Anggal

Tokoh masyarakat Ngada, yang tergabung dalam Forum Peduli Kerukunan Masyarakat Ngada (FPKMN), permasalahkan pembangunan Masjid Al Ghuraba Baitturahman di Jalan Imam Bonjol, Bajawa. Pembangunannya dinilai cacat hukum. FPKMN mendesak bupati dan DPRD segera hentikan pembangunannya (Flores Pos Sabtu 1 Mei 2010).

Tanah di atasnya masjid agung hendak dibangun merupakan hibah masyarakat kepada negara. Tanah itu dikuasai Polri. Ketika di atasnya polisi membangun musola untuk kepentingan internal, masyarakat tidak persoalkan. Tidak demikian halnya ketika di atas tanah itu dewan masjid hendak membangun masjid agung, untuk kepentingan lebih luas.

Dasar keberatan masyarakat. Dari segi peruntukan hibah. Tanah di Jalan Imam Bonjol itu dihibahkan kepada negara, dalam hal ini Polri, untuk kepentingan lembaga kepolisian. Bukan untuk kepentingan lembaga keagamaan. Karena itu, pembangunan musolanya diterima, sedangkan pembangunan masjidnya tidak. Sebab, pembangunan masjid sudah merupakan ranah lembaga keagamaan. Dan, tempatnya sudah ada, sudah dihibahkan, tapi bukan di situ.

Jadi, poinnya jelas. Yang dipermasalahkan adalah ”tempat”-nya, bukan ”pembangunan masjid”-nya. Dalam dialog dengan DPRD, tokoh FPKMN Geradus Siwemole tegas menyatakan itu. Mereka sangat mendukung pembangunan Masjid Al Ghuraba Baitturahman. Sayang, tempatnya salah. Salah tempat inilah yang tidak mereka setujui.

Pada 1984, pemerintah bersama masyarakat telah menghibahkan tanah di Jalan Boulivard, khusus untuk pembangunan masjid. Di mata FPKMN, inilah tempat yang tepat bagi pembangunan Masjid Al Ghuraba Baitturahman.

Yang menjadi pertanyaan kita: kenapa masjid agung tersebut tidak dibangun di Jalan Boulivard itu, tapi di Jalan Imam Bonjol? Kenapa dibangun di tempat yang diperuntukkan bagi polisi dan bukan di tempat yang diperuntukkan bagi masjid?

Pemerintah dan DPRD Ngada harus bisa menjawab ini. Diandaikan, mereka tahu jawabannya. Sebab, mereka inilah yang meletakkan batu pertama pembangunan masjid tersebut pada 15 April 2010. Meletakkan batu pertama bukanlah tindakan ritual tanpa makna. Ini tindakan simbolik bermuatan moral. Di atas batu yang mereka letakkan itulah, batu-batu lain tersusun membangun masjid agung. Maka, selaku peletak batu pertama, secara moral mereka menjadi pihak pertama pula yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat.

Karena itu, FPKMN sangat tepat ketika mengalamatkan aspirasinya kepada bupati dan DPRD. FPKMN mendesak bupati dan DPRD segera hentikan pembangunan itu. Tindakan menghentikan, apakah sementara atau tetap, merupakan pilihan terbaik agar persoalan ini tidak eskalatif. Untuk sementara status quo-kan dulu, lalu duduk berembuk.

Yang perlu diingat: tidak mungkin dewan masjid mengklaim tanah itu kalau tidak ada dasarnya. Patut dapat diduga, telah terjadi pengalihkuasaan tanah dari institusi negara kepada institusi agama. Pengalihkuasaan bisa saja dilakukan oleh pemkab, bisa pula oleh kepolisian, dengan atau tanpa sepengetahuan atau sepersetujuan pemkab. Ini perlu dicek. Kalau ini yang terjadi, FPKMN sudah ambil sikap. Kembalikan tanah itu kepada masyarakat adat Bajawa.

Kita berharap persoalannya diselesaikan dengan baik. Kalau masyarakat adat Bajawa rela, kenapa tidak, pembangunan masjid agung dilanjutkan di Jalan Imam Bonjol. Kalau tidak, tentu lebih baik ’dilanjutkan’ di Jalan Boulivard.

“Bentara” FLORES POS, Senin 3 Mei 2010

1 komentar:

Ansi Firman mengatakan...

Sangat setuju dengan sikap yg ditunjukkan oleh FPKMN..Kl mendirikan masjid dgn cara curang spt itu,jgn dibiarkan...