Kasus Bom Molotov di KPU Manggarai
Oleh Frans Anggal
Ruteng ibu kota Kabupaten Manggarai geger, Jumat 14 Mei 2010. Bersamaan dengan demo LPPMD ke KPU, dua orang tertangkap tangan oleh polisi ketika memanjat tembok timur kantor KPU dengan dua bom molotov di tangan. Polisi lepaskan tembakan peringatan. Keduanya langsung dibekuk. Belasan lainnya kabur. Polisi amankan sepuluh bom (Flores Pos Sabtu 15 Mei 2010).
Kedua orang itu sudah jadi tersangka. Dalam keterangan kepada polisi, mereka ungkapkan banyak hal. Soal pertemuan-pertemuan awal, pembuatan bom, hingga rencana eksekusi. ”Ada yang suruh kami,” kata salah seorang tersangka (Flores Pos Senin 17 Mei 2010).
Kedua tersangka itu warga Kecamatan Wae Rii. Orang kebanyakan. Masuk akal, mereka hanyalah orang suruhan. Siapa yang menyuruh? Dilihat dari sasaran aksinya (kantor KPU), momen aksinya (demo LPPMD), dan atmosfer politiknya (pemilukada 2010), otaknya pasti bukanlah orang kebanyakan. Pasti elite, dalam pengertian luas.
Siapa pun otak di balik kasus ini, satu hal tidak terbantahkan. Pemilukada di Manggarai ternoda. Penodaan tidak hanya oleh kasus bom itu sendiri, yang jelas-jelas melanggar hukum, tapi juga oleh manipulasi terhadap warga, yang nyata-nyata melanggar etika.
Seperti umumnya di Indonesia, pemilukada di Manggarai pun ditandai penyingkiran terhadap warga. Warga dipasifkan ketika elite politik mulai jual-beli partai untuk meloloskan atau mengandaskan paket tertentu. Tidak ada konsultasi publik guna menentukan kandidat mana yang akan diusung parpol. Kadaulatan warga dimatikan oleh kedaulatan uang.
Warga baru akan diaktifkan saat ’diperlukan’. Misalnya, saat elite politik ingin menekan KPU. Saat elite politik mulai kampanye. Dan akhirnya saat warga menuju tempat pemungutan suara. Sesudah itu? Selamat tinggal warga, sampai jumpa di lain kesempatan. Kesempatan lain itu pun banyak: pemilukada berikut, pilgub, pilpres, pemilu legislatif.
Pada semua kesempatan itu, perlakukan terhadap warga tidak berubah. Demi kepentingan para elite politik, warga dipasifkan. Demi kepentingan para elite politik pula, warga diaktifkan. Pengaktifannya pun manipulatif. Jadi, sesungguhnya, warga diperalat, ditunggang. Kasus bom molotov di Ruteng cukup terang menggambarkan itu. ”Ada yang suruh kami,” kata salah seorang tersangka.
Siapa yang suruh? Itu tugas polisi, mencari tahu, menegakkan hukum. Tugas elemen lain adalah menegakkan kewargaan. Kewargaan, menurut Dominique Leydet (2007), mengandung tiga kualifikasi. Pertama, adanya kebebasan bertindak sesuai dengan hukum dan adanya hak mengklaim perlindungan hukum. Kedua, adanya partisipasi pada lembaga politik. Ketiga, adanya keanggotaan pada komunitas politik dengan identitas jelas.
Di negara kita, ketiga kualifikasi itu sangat lemah. Tidak heran, mengutip filosof Rocky Gerung (www.kompas.com), dari luar, Indonesia tidak terlihat seperti negara. “Kita tidak bertemu warga negara. Yang ada kumpulan umat, yakni komunitas dengan ikatan-ikatan keyakinan dan primordial dan kumpulan massa yang bergerak cair ke sana kemari, tanpa arah, dan biasanya menunggu diperintah.”
Kasus bom molotov di Ruteng menggambarkannya cukup gamblang. ”Ada yang suruh kami,” kata salah seorang tersangka. Kasihan. Para tersangka ini bukan warga negara. Mereka hanya bagian dari massa yang bergerak tanpa arah, menunggu perintah elite politik.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 18 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar