Kurangnya Informasi dan Kontrol
Oleh Frans Anggal
Seorang murid TK Stella Maris Maropokot, Kabupaten Negekeo, tewas tenggelam di muara pantai Maropokot, Jumat 30 April 2010. Olivera Embu Sia (Vera), 6 tahun. Usai nonton televisi, ia bersama tiga temannya ke muara. Berbeda dengan yang lain, baru kali itu Vera ke sana dan mandi. Teman-temannya pulang, Vera tidak. Ia ditemukan sudah tidak bernyawa, di kedalaman air setinggi lutut (Flores Pos Senin 3 Mei 2010).
Ayah dan ibu, Silvester Embu dan Modesta Nona, sangat berduka. Demikian pula anggota keluarga dan para guru. Di TK, Vera kreatif dan cerdas. Ia peserta lomba upacara bendera antar-TK di Nagekeo. ”Dalam lomba itu kami juara,” kenang ibu gurunya, Bibiana Dede.
Yang berduka ini pasti masih diliputi perasaan ”ditinggalkan”. Y. Spiegel melukiskan fase ini dengan tepat (B. Kieser SJ, 1984). ”Orang berdukacita itu sendiri meninggal dan mati demi dirinya sendiri. Dia mati bagi dunia, dan dunia mati bagi dia. Kepribadiannya kosong, seakan-akan ia tidak lagi hadir. Orang berdukacita merasa diri dilalaikan dan minder. Sebab cinta kasih dan harga diri yang teguh telah diganggu oleh hilangnya orang tercinta. Dengan demikian, seluruh lingkungan seakan-akan runtuh bagi dia.”
Dengan empati sebagai saudara dalam kemanusiaan, kita berdoa dan berharap: mereka yang ”ditinggalkan” ini dapat segera mengambil ”keputusan untuk hidup”, setelah ”memberi ruang bagi rasa duka” dan ”mengakui realitas kematian” itu sendiri. Bagi mereka dan juga bagi kita, ”keputusan untuk hidup” mencakup pemetikan hikmah. Minimal ada dua hikmah dalam peristiwa ini.
Pertama, Vera adalah korban kesebelas di lokasi yang sama. Dari sebelas yang tenggelam, hanya dua yang bisa diselamatkan. Dalam dua tiga tahun terakhir, lokasi pantai Maropokot, dari dermaga feri hingga dermaga TPI, selalu makan korban. Begitu kesaksian masyarakat.
Karena itu, kita mendukung desakan masyarakat agar pemerintah segera mengambil langkah. Tandai lokasi itu sebagai lokasi berbahaya. Tancapkan pengumuman. Bila perlu nyatakan sebagai lokasi terlarang. Tancapkan tanda larang. Sosialisasikan kepada masyarakat. Dan, awasi.
Kedua, selain sebagai korban kesebelas di lokasi itu, Vera adalah anak-anak. Telaah psikologi menegaskan: anak-anak tidak pernah takut akan kematian. Anak-anak juga tidak mengerti arti kematian. Mereka hanya takut pada kesunyian dan takut ditinggalkan oleh orang yang dekat.
Kisah tenggelamnya Vera mengukuhkan kebenaran tersebut. ”Habis mandi, anak-anak itu pulang. Tapi mereka tidak pernah cerita kepada orangtua korban bahwa Vera sudah tenggelam. Baru pada pukul 17.00, Aris (temannya) cerita bahwa Vera masih ada di laut.”
Perhatikan. Tentang keberadaan Vera temannya, si pencerita gunakan frasa ”masih ada di laut”, bukan ”tenggelam”. Ini menunjukkan anak-anak tidak tahu dan juga tidak takut akan risiko, bahaya, dan maut. Karena itu, khusus bagi anak-anak, menjadikan pantai Maropokot lokasi terlarang tidakah cukup. Anak-anak perlu diberi infomasi sebanyak mungkin, sesuai dengan umurnya. Sebab, meski tidak tahu apa-apa, mereka dapat merasakan segala sesuatu. ”The child does not know anything but senses everything,” kata Mauger dan Wischoff (1982).
Diberi infomasi sebanyak mungkin, tidaklah cukup. Anak-anak perlu diawasi. Kapan, di mana, dan dengan siapa dia bermain. Ini tanggung jawab guru di sekolah dan orangtua di rumah. Tewas tenggelamnya Vera tentu bukan hanya karena berbahayanya pantai Maropokot, tapi juga karena kurangnya informasi dan kontrol. Ini yang kita sesalkan. Ini pula yang perlu kita petik hikmahnya.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 4 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar