03 Agustus 2010

Pendekatan Kesehatian?

Konflik Tapal Batas Manggarai Timur dan Ngada

Oleh Frans Anggal

Gubernur NTT Frans Lebu Raya katakan, ia gunakan pola pendekatan kesehatian untuk selesaikan konflik tapal batas antara Manggarai Timur dan Ngada serta Belu dan Timor Tengah Selatan. Hal itu disampaikannya dalam rapat dengan DPRD NTT (Flores Pos Sabtu 31 Juli 2010).

Pendekatan kesehatian. Apakah itu? Tidak diuraikan dalam berita. Yang bisa ditangkap dari konteks berita: itu bukan pendekatan hukum. ”Pemprov menolak permintaan sejumlah komponenen agar penyelesaian masalah tapal batas melalui jalur hukum,” kata gubernur. ”Jalur hukum bisa membawa ekses yang tidak diinginkan.”

Benarkah itu? Konflik ini konflik tapal batas. Batas itu sudah ditetapkan secara hukum. Yang digugat dalam konflik justru penetapan secara hukum itu. Maka, penyelesaiannya tidak bisa menafikan hukum. Hukum sudah melekat pada konflik itu.

Bahwa penyelesaian hukum bisa membawa ekses yang tidak diinginkan, itu bisa saja. Apa pun bentuk penyelesaian konflik, ekses selalu bisa muncul. Karena, konflik sudah jadi masalah sosial. Hubungan sebab-akibat di dalamnya jadi longgar. Sebuah sebab dapat menimbulkan banyak akibat berbeda. Sebuah akibat pun dapat muncul dari banyak sebab berbeda dan bahkan bertentangan.

Kalau semua bentuk penyesaian konflik bisa lahirkan ekses yang tidak diinginkan, apakah konflik tidak perlu diselesaikan? Tentu tidak. Ekses tidak boleh menjadi halangan. Untuk itu, ekses harus sudah diperhitungkan, guna diantisipasi dan diatasi, bukan dijadikan dalih tidak melakukan apa pun atau menunda-nunda penyelesaian masalah.

Kesan menunda penyelesaian masalah sangat terasa dalam konflik tapal batas Manggarai Timur dan Ngada. Akibat penundaan itu, ekses pun muncul. Jalan provinsi di wilayah perbatasan diblokir sekelompok orang. Jalan dipalang. Badan jalan dibelah menjadi got dengan dalam 1 meter dan lebar 2 meter. Akibatnya, akses ekonomi dan transportasi macet total. Ini dibiarkan berbulan-bulan.

Apakah ini yang diinginkan pendekatan kesehatian? Secara moral dan psikologis, mungkin tidak. Tapi secara logis, iya. Inilah konsekuensinya. Sebab, gubernur menolak penyelesaian hukum karena, menurutnya, jalur hukum bisa membawa ekses yang tidak diinginkan. Pertanyaan kita: pemblokiran jalan itu apa? Hilangnya akses ekonomi dan transportasi itu apa? Itu sudah ekses! Mau ekses mana lagi? Di sinilah lucunya pendekatan kesehatian. Ingin menghindari ekses, tapi justru melahirkan ekses.

Ini juga menunjukkan, pendekatan kesehatian tidak jelas konsepnya. Tidak jelas teorinya. Tidak jelas asumsinya. Tidak jelas pula perhitungan risikonya. Ujung-ujungnya nanti, pendekatan itu hanya menabung risiko untuk kemudian tidak menanggung risiko. Pendekatan kesehatian terancam hanya menjadi bentuk lain penghindaran tanggung jawab.

Kalau benar demikian, kita kecewa. Frans Lebu Raya adalah gubenur pertama NTT yang dipilih langsung oleh rakyat. Pemilukada langsung telah memberi dia dasar legitimasi yang amat kukuh. Ia mesti percaya diri. Tidak boleh jadi peragu.

Pendekatan kesehatian itu pendekatan ragu-ragu. Tidak jelas dan tidak tegas. Padahal duduk soal konflik tapal batas itu jelas. Pelanggarannya jelas. Eksesnya jelas. Instalasi hukum kita pun lengkap. Kenapa tidak digunakan? Lagi pula, negara ini negara hukum. Kasus itu kasus hukum. Jalur hukumlah yang tepat dan cepat. Sebab, diperlukan hanya satu teori, satu asumsi, dan satu risiko.

“Bentara” FLORES POS, Senin 2 Agustus 2010

Tidak ada komentar: