03 Agustus 2010

Preman dari Beokina

Pengeroyokan Wartawan di Flores

Oleh Frans Anggal

Tiga wartawan dikeroyok kepala dan staf puskesmas Beokina, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, saat lakukan tugas jurnalistik di Beokina, Senin 2 Agustus 2010. Mereka, Ferdinand Ambo (TVRI), Melky Pantur (Suara Flores), Maxi MD (Sukses Indonesia). Kartu pers dan tas kamera dirobek. Sepeda motor ditahan. Sedang ditangani polisi (Flores Pos Selasa 3 Agustus 2010).

Ketiga wartawan ke Beokina setelah rekam banyak keluhan masyarakat. Petugas puskesmas dan pustu suka datang terlambat. Biaya pelayanan melambung. Saat tiba di lokasi, mereka saksikan itu. Di pustu, pasien tunggu 1-2 jam baru petugasnya datang. Dari pustu, mereka ke puskesmas, wawancarai kepalanya Wily Dugis. Di sinilah pengeroyokan terjadi.

Wily Dugis minta mereka perlihatkan surat tugas. Mereka tidak bawa. Cuma kartu pers. Ini jadi perdebatan, lalu meningkat jadi pengeroyokan. Ada kesan, pengeroyokan itu terencana. Saat wawancara, banyak staf pria masuk ruangan. Sepertinya sudah ’siap’ sebelum lakukan ’tugas’.

Soal surat tugas meliput. Mutlakkah itu? Tidak! Kartu pers saja cukup. Kartu pers mengandung dua unsur: identitas dan tugas. Dua unsur ini tak terpisahkan. Karena identitasnya ”wartawan” maka tugasnya ”meliput”. Ditugaskan atau tidak, meliput itu tugas. Kalau ditugaskan, itu peliputan instruktif. Kalau tidak ditugaskan, itu peliputan inisiatif. Keduanya sah. Kalau tunggu ditugaskan baru meliput, itu bukan wartawan! Itu pesuruh!

Ketiga wartawan ke Beokina tanpa surat tugas. Artinya, peliputan mereka peliputan inisiatif. Atas inisiatif sendiri, bukan atas instruksi atasan. Inisiatif muncul setelah mereka rekam keluhan masyarakat. Jadi, mereka ke sana karena ”terpanggil” oleh persoalan masyarakat, bukan karena ”terpaksa” oleh penugasan atasan. Inilah hakikat kewartawanan itu. Panggilan! Maka disebut: profesi.

Banyak birokrat kurang paham. Mereka pikir, wartawan itu PNS. Tidak heran, Wily Dugis tuntut surat tugas. Dengan mindset PNS-nya, semestinya dia juga tuntut SK pengangkatan wartawan, SK penempatan, akta kelahiran, KTP, akta perkawinan, kartu keluarga, bukti pajak, dst. Wartawan di-PNS-kan.

Soal pengeroyokan. Ini jelas premanisme. Mari kita utak-atik kata dasarnya: preman. Menurut KBBI, preman bisa berarti partikelir atau bukan dinas (pakaian preman). Bisa pula orang jahat (penodong, perampok, pencopet). Kita juga bisa lakukan dekonstruksi dan rekonstruksi kata ini. Kita bongkar dan susun kembali dengan pemaknaan baru. Kita ’inggriskan’. Preman itu pre-man terdiri dari pre (Latin: prae = sebelum) dan man (manusia). Jadi, pre-man itu (se)belum manusia. Belum sungguh-sungguh manusia. Setengah hewan.

Mungkin baik ”preman” kita sumbangkan ke kamus Inggris. Sebelumnya, sudah dua lema (entry) yang orang Indonesia sumbangkan. Yaitu, ”amok” dan ”orang utan”. Kalau ditambah ”preman”, klop. Amok atau amuk, dalam berbagai bentuknya termasuk keroyok, adalah tindakan tak laik manusia. Tindakan orang utan. Tindakan pre-man. Tindakan setengah hewan.

Luar biasa! Inspirasi menyumbangkan ”preman” ke kamus Inggris justru datang dari Beokina. Katakanlah, ini sumbangan dari puskesmas Beokina. Khususnya, dari kepala dan staf puskesmas. Ini juga bukti, inspirasi bisa datang dari mana saja. Bisa dari kejahatan. Dari pengeroyokan. Maka, atas inspirasi itu, kita berterima kasih. Namun, atas kejahatannya, kita bertolak kasih. Para ’penyumbang’ harus dihukum seadil-adilnya.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 4 Agustus 2010

1 komentar:

canticumsolis mengatakan...

mantap dan efektif sekali gaya bahasa tulisan ini kela Frans. Termasuk analisis "etimologis" pre-man itu. itu bagus. di tangan anda, kata-kata benar-benar jd pisau, jadi pedang, jadi cambuk, spt kata seorang filsuf spanyol, Miguel Unamuno.... salut atas tulisan yg tajam menusuk ini.... wrans chiqu...