Tenggelamnya KM Hasnita 3 di Selat Boleng
Oleh Frans Anggal
KM Hasnita 3 tenggelam di perairan Selat Boleng, Kabupaten Lembata, Senin 9 Agustus 2010. Sepuluh orang meninggal, belasan luka-luka, 20 belum ditemukan. Tim SAR masih lakukan pencarian. Nakhoda Awan Jacob sudah diamankan di polres. (Flores Pos Selasa-Rabu, 10-11 Agustus 2010).
Di perairan ujung timur Flores, ini kecelakaan ketiga tahun 2010. Pada 22 Januari, sebuh kapal tenggelam di perairan Dermaga Larantuka. KM Siti Nirmala. Kapal milik Pemkab Flotim. Pada 2 Februari, juga di perairan Dermaga Larantuka, sebuah kapal menabark kapal lain. Penabark, KM Torani 2. Kapal milik Pemkab Lembata. Yang ditabrak, KM Mitra Abadi. Kapal milik nelayan. Mitra Abadi tenggelam. Awaknya selamat. Torani 2 hanya rusak sedikit pada bagian haluan. Penumpangnya, Bupati Andres Duli Manuk dan Nyonya, selamat.
Enam bulan berselang, 9 Agustus, kecelakaan terjadi lagi. Kali ini di Lembata, di perairan Selat Boleng. Menimpa KM Hasnita 3. Kapal milik swasta. Dari 50-an penumpang, 10 tewas, 20 sedang dicari. Semoga ditemukan selamat. Jika tidak, lebih dari setengah penumpang tewas. Sungguh kecelakan yang luar biasa.
Peristiwa ini beruntun. Menimpa dua kabupaten di ujung timur Flores. Kabupaten yang terdiri dari beberapa pulau. Bahasa Indonesia salah kaprah menyebutnya ”kabupaten (ke)pulau(an)”, merujuk ”wilayah kepulauan” sebagai terjemahan keliru dari archipelago. Kata archipelago berasal dari kata Yunani, arch (utama, besar) dan pelagos (laut). Maka, terjemahan yang tepat adalah ”wilayah kelautan (utama)”, bukan ”wilayah kepulauan”.
Kekeliruan bahasa ini, tidak disadari, mempengaruh cara orang Indonesia mewawas wilayahnya. Indonesia dilihat tidak sebagai hamparan laut yang ditaburi pulau, tapi lebih sebagai kumpulan nusa yang di-antara-i laut. Sehingga lahirlah nusa-antara, nusantara. Kita lebih memelototi nusa-nya. Kurang memandang peng-antara-nya. Kita lebih memperhatikan pulaunya. Kurang memedulikan lautnya. Padahal, wilayah terluas kita laut, bukan darat.
Cara wawas keliru ini berdampak pada cara kita mengatur negeri. Banyak contoh. Di bidang hankam, Angkatan Laut belum sungguh diperhatikan. Padahal, Indonesia negara kelautan. Luas lautnya 5,8 juta kilometer persegi. Garis pantainya 81 kali panjang Pulau Jawa. Tapi, apa yang dimiliki Angkatan Laut kita? Lebih dari 80 persen kapal yang bertugas menghubungi pulau-pulau sudah berusia lebih dari 30 tahun (Tempo, 19-26 Januari 2009).
Kondisi menyedihkan ini melahirkan humor ketika Indonesia bersitegang dengan Malaysia di wilayah perbatasan, yang notabene wilayah laut. Kata si empunya humor, Malaysia tidak akan menembak kapal perang Indonesia. Itu buang-buang peluru saja. Tidak perlu ditembak, kapal perang Indonesia akan tenggelam sendiri koq. Saking tuanya!
Itu humornya. Seriusnya, karena fokus kita daratan, maka kekayaan laut kita mubazir. Menadi makanan empuk kapal-kapal asing. Karena fokus kita keselamatan di darat, maka kecelakaan laut jadi biasa. Bisnis angkutan sungai, danau, dan perairan mengandalkan nekat. Yang penting untung. Segi keselamatan diterlantarkan. Ini sudah lama. Karena, pengawasan pemerintah kurang.
Kenapa kurang? Karena, cara pandang pemerintah belum berubah. Di Flotim dan Lembata sekalipun, pemerintahnya masih memandang dan memperlakukan kabupatennya lebih sebagai kabupaten (ke)pulau(an). Belum sebagai kabupaten kelautan. Dua kabupaten ini membutuhkan pemimpin bervisi maritim. Dengan demikian, mudah-mudahan, pengeboman ikan dan kecelakaan laut berkurang.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 12 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar