Puasa Berdimensi Sosial
Oleh Frans Anggal
Menyambut bulan suci Ramadhan, Sarwo Centre bekerja sama dengan Apotek Trio Farma selenggarakan khitanan massal bagi 110 anak dari empat kecamatan dalam kota Ende, Sabtu 7 Agustus 2010. Khitanan berlangsung di kediaman anggota DPRD Ende Sarwo Edi. Khitanan ini meringankan beban keluarga kurang mampu (Flores Pos Senin 9 Agustus 2010).
Sarwo Edi. Dia makhluk ’langka’. Dia politikus ’tidak biasa’. Ia peduli pada derita sesama. Itu tidak hanya sekali dua. Kegiatan amal sudah sering ia lakukan. Bahwa itu karena ia mampu, ya. Tapi bukan hanya karena itu. Ia punya hati.
Dengan kegiatan amalnya, tanpa berkhotbah, Sarwo Edi perlihatkan satu hal. Puasa itu berdimensi sosial. Rahmat yang diturunkan Allah dalam masa puasa tidak hanya rahmat personal. Tapi rahmat sosial juga. Makna pertobatan pribadi dan kemenangan dalam mencapai fitrah sejati diri sendiri semestinya membawa dampak positif bagi sesama, terutama sesama yang kurang mampu.
Sesama di sini, sesama manusia. Bukan hanya sesama umat Islam. Sarwo Edi menunjukkan itu. Pihak yang terlibat dalam kegiatan ini tidak eksklusif Islam. Apotek Trio Farma mitra Sarwo Centre adalah milik Dokter Gusti Ngasu, seorang Katolik. Ketua panitianya pun Don Bosco Watu, seorang Katolik.
Hikmah apakah ini? Setiap hamba Allah yang sadar akan fitrahnya akan mampu melihat keluhuran fitrah sesamanya. Tanpa melihat perbedaan agama, suku, budaya, bahasa. Yang dilihatnya hanya kemanusiaan setiap manusia. Lainnya tidak. Sebab, di dalam Kemanusiaan Yang Maha Esa, semua perbedaan itu hanya kulit pembungkus fitrah sejati manusia. Analog dengan bayi. Semua bayi dilahirkan telanjang. Begitu ia diberi kulit pembungkus (pakaian), muncullah perbedaan: ini anak petani, ini anak pejabat. Ornamen pembungkus itu selalu hadir kemudian. Itu bukti, ornamen atau kulit bukanlah fitrah.
Yang menyedihkan, semua yang bukan fitrah sering diperlakukan seakan-akan fitrah. Dalam praksis, terutama politik, ’pemujaan kulit’ dan ’penyembahan ornamen’ begitu menggila. Sampai berdarah-darah. Sampai menghilangkan nyawa. Tengoklah kasus Ambon. Agama diperalat elite politik dan elite agama untuk mempertahankan status quo dan memperjuangkan kepentingan politik dan ekonomi mereka. Simbol-simbol agama dieksploitasi untuk membakar semangat destruktif umat. Akhirnya, pecahlah konflik horizontal bernuansa agama.
Kita tidak ingin Flores jadi Ambon atau di-Ambon-kan. Kuncinya ada di Ende. Jantungnya Flores. Berbeda dengan kabupaten lain yang mayoritas penduduknya Katolik, Ende khas. Jumlah umat Islamnya signifikan. Ini peluang lahirkan sinergi menjadikan Ende demokratis, adil, dan sejahtera. Tapi juga tantangan kalau simbol-simbol agama dieksploitasi untuk kepentingan elite.
Ambon mulai rusuh justru pada titik ketika jumlah penduduk Islam dan Kristen mulai berimbang. Para elite mulai berebut sumber daya, mengandalkan kekuatan primordial masing-masing. Untuk mendapat dukungan luas, mereka kibarkan simbol-simbol agama. Hal sensitif ini mudah membakar semangat destruktif umat. Dan, terjadilah. Filosofi ”pela gandong” mati terinjak-injak.
Kita tidak ingin Flores seperti itu. Kuncinya di Ende. Jantungnya Flores. Kita optimistis, semua kita mampu dan punya hati melihat keluhuran fitrah sesama. Sesama hamba Allah. Dalam Kemanusiaan Yang Maha Esa. Marhaban ya Ramadhan!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 11 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar