Kasus Dinas PU sebagai Titik Star
Oleh Frans Anggal
Kadis PU Kabupaten Ende Yos Mario Lanamana melapor kepada Sekda Yoseph Ansar Rera perusakan kantornya oleh rekanan Paskalis Lanamana. Selanjutnya, kadis tunggu koordinasi sekda. Sekda merekam adanya ketidakpuasan rekanan terhadap panitia tender. Akan ditelusuri. Selanjutnya, sekda tunggu kebijakan bupati (Flores Pos Jumat 13 Agustus 2010).
Kadis tunggu sekda. Sekda tunggu bupati. Itu tata langkah birokrasi. Sosiolog Peter L Berger menyebut “tata langkah yang layak” untuk setiap prosedur birokrasi yang mengikuti aturan dan tata urut rasional. Bahwa kemudian terkesan lamban---sehingga lahir konotasi ‘berbelit-belit’ untuk semua hal birokratis---, apa boleh buat. Tata langkah harus tetap berada dalam kompentensi. Tidak boleh, demi cepatnya prosedur, kadis men-sekda-kan diri atau sekda berlagak bupati.
Demi “tata langkah yang layak”, penyelesaian birokrasi atau politik kasus Dinas PU tak mungkin secepat kilat. Yang bisa cepat, penyelesaian hukum. Narasinya ringkas. Merasa dirugikan dalam tender, Kalis Lanamana mengamuk di kantor Dinas PU Ende, Rabu 11 Agustus 2010. Bersenjatakan parang, ia ubrak-abrik ruang kerja kabid dan kadis (Flores Pos Kamis 12 Agustus 2010).
Semua unsur tindak pidana terpenuhi. Keterlaluan kalau penyelesaian hukum lamban. Tidak demikian dengan penyelesaian politik. Apalagi kalau mau temukan akar masalah dan cari jalan keluar. Belum lagi kalau akar itu berkelindan dengan akar di luar instansi. Indikasinya ada, dari pernyataan Kalis.
Dia bilang, sejumlah proyek yang ditenderkan sudah ada jagonya. Saat dia tanya, dijawab bahwa itu proyeknya anggota DPRD Ende. Kalau ini benar maka, dalam apa yang disebut Kalis “sindikat kejahatan proyek”, anggota DPRD terlibat. Anggota DPRD ikut merusak Dinas PU. Karena duit, pengontrol kecantol. Demi duit, pagar makan tanaman.
DPRD sudah agendakan pertemuan dengan Dinas PU. Tepat. Akan lebih tepat kalau yang ‘diperiksa’ bukan hanya kadis, kabid, dan panitia tender. DPRD perlu ‘periksa diri’. Di sini, Badan Kehormatan Dewan perlu proaktif. Jangan hanya tunggu laporan menurut definisi penyidik. Pernyataan Kalis mengutip panitia tender itu sudah ‘laporan’ (report) karena merupakan hasil wawancara “reporter” dan dipublikasikan sebagai “reportase”.
Kita berharap, ‘pemeriksaan’ oleh DPRD di satu sisi dan oleh bupati di sisi lain akan menuju dan mencapai titik temu. Ini momentum, kalau Ende di bawah Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar benar-benar ingin memenuhi janjinya saat dilantik dulu: reformasi birokrasi.
Yang kasat mata selama ini baru mutasi. Mutasi bisa jadi jalan reformasi, tapi tak identik. Bisa saja, reformasi tanpa mutasi. Sebab, inti reformasi adalah perbaikan ‘kembali’ (re-) ‘bentuk’ (forma). Perbaikan kinerja (performance). “Wajah boleh lama, asal hati baru”. Itu lebih reformatif ketimbang “wajah baru, tapi hati lama”.
Selama ini, sebatas “wajah baru, tapi hati lama”. Wajah baru itu pun wajah pucuknya saja dari pohon SKPD. Pucuk boleh baru, tapi kalau sebagian besar daun, ranting, dahan, batang, dan akar tidak sehat, buahnya pasti jelek. Malah bisa aneh. Seaneh lirik lagu Broery Marantika: “buah semangka berdaun sirih”. Sirih rasa semangka, mendingan. Bayangkan kalau semangka rasa sirih.
Kita berharap, penyelesaian kasus Dinas PU Ende menjadi momentum kedua reformasi birokrasi. Pucuk pohon SKPD-nya sudah. Tinggal ranting, dahan, batang, dan akarnya. Wajahnya sudah. Tinggal hatinya.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 14 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar