03 Agustus 2010

Kesehatian Tanpa Hati

Konflik Tapal Batas Manggarai Timur dan Ngada

Oleh Frans Anggal

Sejak 27 April 2010, ruas jalan provinsi di perbatasan Manggarai Timur dan Ngada diblokir sekelompok orang. Akibatnya, hingga saat ini akses ekonomi dan transportasi di wilayah itu macet total.

”Kami minta pemerintah provinsi segera menyelesaikan masalah tapal batas di daerah tersebut karena kasusnya sudah sekian lama,” kata anggota Fraksi Golkar DPRD NTT Emilianus Charles Lalung pada rapat dengan Gubernur Frans Lebu Raya (Flores Pos Sabtu 31 Juli 2010).

Tanggapan gubernur? Penyelesaian sudah dimulai. Masing-masing bupati sudah paparkan peta wilayah. Kini sedang dibentuk tim yang libatkan tokoh masyarakat dan elemen lain dari kedua kabupaten. Pemprov memilih pendekatan kesehatian. Bukan jalur hukum. Jalur hukum bisa membawa ekses buruk.

Argumentasi gubernur menolak jalur hukum sudah disoroti ”Bentara” Flores Pos Senin 2 Agustus 2010. Gubernur beragumentasi, jalur hukum bisa bawa ekses buruk. Sementara, kenyataan empirik di lapangan, ekses buruk justru sudah terjadi: jalan diblokir, akses ekonomi dan transportasi lumpuh total. Dan sudah berlangsung tiga bulan. Kenapa? Karena tidak ada tindakan hukum!

Kenapa tidak ada tindakan hukum? Rupanya karena gubernur menolak jalur hukum. Para pelaku kriminal yang merusak fasilitas negara itu pun dibiarkan. Dua bupati menonton. Dua polres menonton. Jadi, tidak ada pemerintah di sana. Yang ada cuma penguasa, di atas takhta, yang menonton---bukan mengatasi---kriminalitas yang dilakukan warga.

Yang berhak selesaikan sengketa tapal batas itu gubernur. Tidak heran, warga perbatasan, khususnya yang lakukan pemblokiran jalan, menunggu bahkan menuntut gubernur datang. Kalau gubenur datang, pemblokiran mereka akhiri. Hingga kini gubernur tidak datang-datang. Jalan itu pun tetap mereka blokir. Akses ekonomi dan transportasi tetap macet total.

Seandainya Ben Mboi masih jadi gubenur NTT, ia pasti sudah ke sana. Bukan untuk penuhi tuntutan warga. Bukan! Tapi, untuk menangkap langsung dan lengkap atmosfer sikon empirik. Untuk mendengar sendiri aspirasi para petikai. Dengan demikian, pemahaman masalah akan makin bernas, kiat menemukan solusi akan makin tepat, dibandingkan kalau hanya tunggu mendapat laporan, keluh-kesah, belum lagi ’hasutan’ dari bupati, DPRD, dll.

Sayang, cara ini tidak ditempuh Frans Lebu Raya. Padahal, dia gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat. Semestinya---berbeda dari yang ditunjuk pusat atau dipilih DPRD---ia lebih dekat dengan rakyat dan lebih tanggap. Kalau penuhi undangan ikatan keluarga di Flores ia bisa datang, kenapa penuhi harapan warga yang terlibat konflik tapal batas kabupaten ia tidak muncul? Kalau untuk urusan privat ia bisa dekat, kenapa untuk urusan publik ia justru jauh?

Apakah semua ini konskuensi logis dari pendekatan kesehatian? Kalau ya, kita harus katakan: kesehatian itu sudah tanpa hati. Sebab, hati dalam bernegara adalah ’hasrat’ (desire). Politik pun harus menjadi ’politik hasrat’ (politics of desire). Hasrat untuk memelihara politik dalam jalur keadilan. Hasrat untuk memastikan politik hanya diucapkan untuk menempuh keadilan.

Melihat bagaimana tindakan kriminal warga memblokir jalan dibiarkan berbulan-bulan, hingga melahirkan ekses hilang totalnya akses ekonomi dan transportasi berbulan-bulan, maka kita mesti katakan: politics of desire dalam pendekatan kesehatian itu kosong. Kesehatian itu kesehatian tanpa hati. Tanpa hasrat menegakkan hukum, demi keadilan. Ini menyedihkan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 3 Agustus 2010

Tidak ada komentar: