Kontroversi Putusan PT Kupang
Oleh Frans Anggal
Amar putusan PT Kupang dalam perkara tingkat banding kasus kematian Romo Faustin Sega Pr menetapkan beberapa hal. Membatalkan putusan PN Bajawa yang telah memvonis Anus Waja dan Theresia Tawan penjara seumur hidup. Membebaskan Waja-Tawa dari hukuman, tahanan, dan biaya perkara, serta merehabilitasi nama baik kedua terdakwa (Flores Pos Sabtu 21 Agustus 2010).
Putusan jungkir balik ini mengandaikan PT telah melakukan dua hal yang merupakan tujuan banding. Pertama, menguji ketepatan putusan PN Bajawa dan menyimpulkan putusan PN sesat. Kedua, melakukan pemeriksaan baru, penilaian baru, hingga menetapkan putusan baru. Dua hal itu sangat dipertanyakan. Antara lain oleh Valens Daki-Soo, pura Flores yang pernah aktif di Satgas Bom/Antiteror Polri dan Satgas TKKN Bareskrim Mabes Polri.
“Apakah benar kedua fungsi itu dilakukan sungguh-sungguh dengan asas imparsialitas para hakim PT Kupang? Adakah saksi-saksi baru, ahli-ahli dan surat-surat baru? Apakah telah terjadi ‘kelalaian dalam acara’ di tingkat PN Bajawa? Jika tidak, bagaimana putusan PT Kupang dapat kontradiktif absolut dengan PN Bajawa?” (SMS 23 dan 24 Agustus 2010).
Dari keterangan pers Ketua Pengadilan Tinggi A. Th. Pudjiwahono terkesan, “jawaban” atas pertanyaan tersebut jauh panggang dari api. PT mendasarkan putusan bebas Waja-Tawa pada dua hal. Pertama, “Tidak ada saksi yang melihat langsung dua terdakwa melakukan pembunuhan itu.” Kedua, “Bahkan ada saksi (10 orang) yang menerangkan terdakwa Anus Waja berada di tempat lain saat kejadian berlangsung” (Pos Kupang 21 Agustus 2010).
Menurut Valens, pernyataan ini sulit dinalar. Pertama, PT hanya dengarkan keterangan 10 saksi meringankan, dan abaikan keterangan 48 saksi memberatkan. Kedua, mutlak bergantung pada “saksi yang melihat langsung” hanya akan luputkan pembunuh, koruptor, teroris. Mana ada pembunuh yang tunggu disaksikan baru mau eksekusi korban?
Tepat. Amrozi dkk divonis mati dalam kasus bom Bali, padahal tak ada saksi yang lihat langsung mereka lakukan peledakan. Kenapa? Hakimnya pakai otak dan hati. Pakai otak (hukum): pertimbangkan semua alat bukti sebagai dasar putusan. Pakai hati (moral): pertimbangkan suara hati atau keyakinan pribadi.
Hanya hakim yang boleh begitu, polisi dan jaksa tidak. Maka, hanya hakim yang berhak gunakan formula “terbukti secara sah dan meyakinkan”. Sah (hukum), karena berdasarkan alat bukti yang cukup. Meyakinkan (moral), karena berdasarkan suara hati yang benar. Bukan “suara lain”!
Tentang “suara lain”, Ulysses dalam mitologi Yunani beri pelajaran. Ulysses rela diikat di tiang kapal ketika kapalnya melintasi pulau tempat dewi laut bernyanyi. Ia tak ingin tergoda suara merdu itu, yang telah menyebabkan banyak pelaut lari meninggalkan kapal, terjun mengejar ke sumber suara dan kemudian punah. Ulysses mengikatkan diri di tiang kapal, maka ia dan kapalnya selamat.
Mitologi adalah sosiologi kekuasaan. Kapal itu lembaga negara. Tiang itu hukum dan moral. Pejabat negara yang tidak rela mengikatkan diri pada hukum dan moral gampang merusak diri dan lembaganya hanya karena tergoda “suara lain”.
Dalam kasus Romo Faustin, “suara lain” itulah yang dorong kapolres Ngada mati-matian “mematiwajarkan” Romo Faustin. “Suara lain” itulah yang dorong Theresia Tawa ‘berpornografi’ di sebuah media. “Suara lain” itulah yang dorong PT Kupang membebaskan Waja-Tawa. “Suara lain” itu harus dilawan, harus dikalahkan. Kita pilih jalan hukum yang bermoral: kasasi.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 25 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar