Gerakan Swasembada Pangan 2012
Oleh Frans Anggal
Anggota DPR RI Honing Sani punya usul bagi Kabupaten Ende untuk sukseskan Gerakan Swasembada Pangan (GSP) 2012. Pemkab-DPRD perlu kerja sama buat perda. Semua warung makan wajib sediakan pangan lokal sekali seminggu, misalnya tiap Kamis. Pol PP harus kontrol. Yang tidak buka pada Kamis atau tidak sediakan pangan lokal hari itu, diberi sanksi. Cabutan izin usahanya (Flores Pos Rabu 18 Agustus 2010).
Mari kita bayangkan. Pada Kamis, semua warung dibuka dan sediakan pangan lokal. Kalau itu menu wajib dan satu-satunya, betapa terbatasnya pilihan konsumen. Kalau itu menu wajib tapi bukan satu-satunya, betapa terancamnya produsen. Wajib sediakan, tapi kalau tidak laku? Apakah pemkab borong? Ataukah konsumen diwajibkan juga biar semua jualan itu laris?
Begitulah kalau negara mau atur semua hal. Tidak jelas lagi mana yang publik dan mana yang privat. Di kota Ende, ketidakjelasan publik-privat sudah biasa. Hajatan nikah, kematian, sambut baru, sunatan (privat) bisa digelar di jalan raya (publik). Fasilitas umum (res publica) ini bisa diblokir berhari-hari untuk urusan pribadi (res privata). Diizinkan dengan mudahnya oleh pemkab.
Apa yang tergilas di sini? Keadilan (justice). Keadilan mencakup semua hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban serta hukum dan UU. Parkir sepeda motor (kecil) di tengah jalan dilarang polantas. Eh, ’parkir’ kemah (besar dan blokir jalan) diizinkan. Pemrivatan ruang publik melahirkan ketidakadilan.
Sekarang, dengan usul Honing Sani itu, Ende mau berbalik ke ekstrem lain. Pemublikkan ruang privat. Apa yang tergilas? Hidup baik (good life). Ini mencakup gaya hidup, selera makan, selera berpakaian, penggunaan waktu senggang, dll. Enaknya makan apa hari ini koq mau diatur negara. Aneh. Selera makan itu urusan privat, bukan urusan publik. Tidak pantas diperdakan.
Kalau diperdakan, itu bukan selera lagi. Itu seloroh, lelucon. Dengan perda itu, maksud hati sukseskan GSP 2012, apa daya celaka 12. Kemerdekaan tiap orang dan tiap kelompok dalam ’hidup baik’ dilanggar bulat-bulat. Ini hanya pantas pada negara berideologi marxis ortodoks. Di sana, kedudukan privat perseorang dianggap tidak ada.
GSP 2012 tidak pantas di-perda-begitu-kan. Selain melanggar kemerdekaan warga, pemerdaan selera makan menyalahi makna GSP itu sendiri. GSP itu ”gerakan” , bukan ”hukum”. Praksis ”gerakan” mencakup sosialisasi (pemasyarakatan), yang hanya sukses kalau bermuatan konsientisasi (penyadaran) dan persuasi (ajakan), sehingga melahirkan motivasi (dorongan dari dalam diri) untuk melakukan aksi (tindakan).
Contoh bagus sudah diperlihatkan CIJ Ende melalui SMKK Muctyaca. Sekolah asuhan Yayasan Bina Wirawan ini mendirikan Pusat Pangan Lokal di Jalan Melati. Dikelola Sint Sevill, unit usaha sekolah. Diresmikan bupati Ende, Selasa 25 Maret 2010.
Tanpa perda, Sint Revill buka tiap hari, bukan hanya tiap Kamis. Tanpa diawasi Pol PP, Sint Revill sediakan pangan lokal, dan hanya pangan lokal. Ini baru namanya ”gerakan”. Lahir karena sadar dan bebas. Sebuah contoh sukses.
Nah. Daripada bikin perda aneh, lebih baik pemkab dan DPRD Ende jadikan Sint Revill proyek percontohan GSP 2012. Daripada sibuk paksa semua warung jual pangan lokal, lebih baik bantu, berdayakan, dan mitrakan Sint Revill dalam GSP 2012. Buahnya akan nyata.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 20 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar