Pengeroyokan Wartawan di Flores
Oleh Frans Anggal
Setelah ditetapkan jadi tersangka kasus pengeroyokan terhadap tiga wartawan, Kepala Puskesmas Beokina Wily Dugis ditahan di Mapolres Manggara di Ruteng. Tiga stafnya, Daniel Jeneha, Hendrikus Tuju, dan Hartono MD, sudah ditangkap. Status mereka belum ditetapkan (Flores Pos Kamis 5 Agustus 2010).
Pengeroyokan terjadi di puskesmas Beokina, Senin 2 Agustus 2010, ketika ketiga wartawan sedang mewawancarai pelaku. Kenapa sampai ada pengeroyokan, ada dua versi cerita. Versi wartawan: suasana mulai tegang ketika Wily Dugis minta mereka perlihatkan surat tugas. Mereka tidak bawa. Cuma kartu pers. Terjadilah perdebatan, lalu pengeroyokan. Tampaknya terencana. Saat wawancara, banyak staf pria masuk ruangan dan ’siap’.
Versi Wily Dugis: suasana mulai tegang bukan ketika ia minta surat tugas. Itu kemudian. Awalnya, sikap tidak sopan wartawan. ”Saat hendak wawancara, seorang di antara mereka langsung bertanya dengan suara keras dan kasar, ’Kau masuk kantor jam berapa?’ ... Saya merasa dikasari. Suara wartawan makin tinggi dan tampak emosi. Karena itu banyak pegawai masuk (ruangan).”
Dalam suasana itulah Wily Dugis minta surat tugas. Tiba-tiba seorang wartawan mendekat seperti hendak menyerang. Tangan Wily Dugis pun ’refleks’. Jadi, ia merasa tidak memukul. Para stafnya pun ’cuma’ mendorong wartawan ke luar. Wily Dugis tidak tahu siapa yang keroyok dan di mana wartawan dikeroyok.
Mana yang benar? Hukum akan mengujinya. Dari versi Wily Dugis, kita patut catat dua hal. Catatan pertama, untuk dia dan staf. Boleh jadi benar, gerakannya refleks. Demikian pula gerakan stafnya. Semua serba-refleks, termasuk ketika menggebuk korban, merobek kartu pers, mencampakkan kamera, dan menahan sepeda motor. Katakanlah, ini spontanitas plus solidaritas.
Beres? Tidak. Atas dasar apa pun, tindakan mereka tetaplah tindak kekerasan. Atas nama spontanitas dan solidaritas sekalipun, penggunaan kekerasan tetap bertentangan secara prinsipiil dengan hukum, bersifat antidemokratis, dan melanggar hak-hak asasi orang lain.
Dalam banyak kasus premanisme terhadap jurnalis di Indonesia, spontanitas dan solidaritas laris digunakan sekelompok orang. Mereka mengaku tidak disuruh. Mereka bertindak hanya atas dasar spontanitas dan solidaritas dengan patronnya atau bosnya. Serangan terhadap kantor TEMPO, misalnya, dilakukan sekelompok orang dengan dasar ini. Dan kita tahu, itu dalih.
Catatan kedua, untuk ketiga wartawan dan para jurnalis. Kalau benar awal masalah adalah sikap tidak sopan wartawan, disayangkan. Kalau benar Wily Dugis ditanyai ”Kau masuk kantor jam berapa?” dengan suara keras dan kasar, disayangkan. Yang begitu itu bukan wawancara (interview). Itu pemeriksaan (interrogation). Dan itu hak polisi. Bukan hak wartawan. Kenapa?
Interogasi merupakan tindak kekerasan juga. Oleh hukum, hanya negaralah yang boleh lakukan itu. Negara diakui sebagai satu-satunya lembaga yang punya monopoli gunakan kekerasan. Personifikasi negara dalam hal ini adalah polisi. Polisi berwenang dan sah berdasarkan hukum menggunakan kekerasan. Tinggal saja---ini yang perlu dikontrol---alasan dan tinggkat penggunaannya.
Pada titik ini, kasus Beokina ada hikmahnya untuk pers. Wartawan bukan polisi. Narasumber bukan terperiksa. Spirit wawancara adalah kesederajatan. Saling hormat. Mana yang boleh dipublikasikan (on the record), mana yang tidak (off the record), perlu dihargai. Karena itu, dalam batas tertentu, wawancara adalah negosiasi. Bukan interogasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 6 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar