Momentum Kedua Reformasi Birokrasi
Oleh Frans Anggal
Komisi B DPRD Ende rekomendasikan tiga hal dalam rapat dengan kadis PU dan staf, Sabtu 14 Agustus 2010. Pertama, minta polisi dan jaksa usut tuntas kasus perusakan kantor PU. Kedua, minta polisi dan jaksa usut tuntas proses tender 11 proyek yang dinilai bermasalah. Ketiga, minta dinas PU batalkan seluruh proses tender itu (Flores Pos Senin 16 Agustus 2010).
Rekomendasi. Kata ini tak hanya bermakna denotatif ‘saran’, ‘anjuran’, ‘nasihat, atau ‘permintaan’, tapi juga bermakna konotatif ‘percaya’ bahwa yang disarankan, dianjurkan, dinasihatkan, atau diminta itu dilaksanakan. Kalau dilaksanakan, terima kasih. Kalau tidak, tiada sanksi. Beda dengan ‘perintah’.
Menurut gradasi pewajibannya, nomor satu ‘perintah’, nomor dua ‘rekomendasi’, nomor tiga ‘permohonan’. Pada ‘perintah’, pewajibannya tinggi. Kalau dilaksanakan, tak harus terima kasih. Kalau tidak dilaksankan, sudah harus diberi sanksi. Sebaliknya pada ‘permohonan’, pewajibannya rendah bahkan nol. Kalau dikabulkan, syukur alhamdulillah. Kalau tidak dikabulkan, apa boleh buat.
Dengan ‘rekomendasi’-nya, DPRD Ende tidak ‘memerintahkan’ kepolres, kajari, dan kadis PU, tapi juga tidak ‘memohon’ menghamba-hamba. Dengan ‘rekomendasi’-nya, DPRD Ende percaya bahwa yang direkomendasikan akan dilaksanakan oleh kapolres, kajari, dan kadis PU. Kalau dilaksankan: terima kasih Pak. Kalau tidak dilaksankan? Tak ada sanksi. Ini bukan ‘perintah’.
Itu tak jadi soal. Lagi pula, DPRD tak berwenang (langsung) ‘perintah’ kapolres, kajari, dan kadis. Yang jadi soal, jika ‘rekomendasi’-nya turun pangkat jadi ‘permohonan’. Ini tidak boleh. Sebagaimana ‘rekomendasi’ bukan ‘perintah’, sehingga jangan disanksi jika tak dilaksanakan, demikian pula ‘rekomendasi’ bukan ‘permohonan’, maka jangan disikapi pasrah sumarah apa boleh buat.
Dengan kata lain, terhadap pelaksanaan hal yang direkomendasikannya, DPRD Ende perlu proaktif. Bila yang direkomendasikan tidak dilaksanakan, DPRD tidak pantas diam. Diam berarti pasrah sumarah. Ini reaksi khas ‘permohonan’, bukan kelasnya ‘rekomendasi’, apalagi kelasnya ‘perintah’. Diam berarti merendahkan wibawa putusan. Kalau berwibawa, DPRD harus bertindak.
Konkretnya: jika kapolres, kajari, dan kadis PU tidak melaksankan apa yang telah diromendasikan, DPRD Ende sudah seharusnya meningkatkan ‘rekomendasi’ menjadi ‘perintah’, dalam batas kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Format yang pas untuk itu adalah pansus.
Pembentukan pansus sebenarnya sudah dicuatkan dalam rapat dengan kadis PU dan staf. Diusulkan Arminus Wuni Wasa. Tujuannya, untuk mengetahui apakah proses tender berjalan sesuai dengan regulasi atau tidak. Usulan ini terabaikan. Rupanya karena argumentasinya lemah. Mengecek apakah proses tender berjalan sesuai dengan regulasi atau tidak, bisa langsung oleh polisi dan jaksa, tidak perlu repot-repot oleh pansus.
Semestinya, argumentasinya tak sebatas itu. Kasus di dinas PU ditengarai sudah sistemik, laten, dan berulang. Ini menggagalkan program reformasi birokrasi. Reformasi (ke arah baik) jadinya deformasi (ke arah buruk). Penyelesaian hukum saja tidak cukup. Perlu penyelesaian politik: pansus.
Itu kalau DPRD mau jadikan penyelesaian kasus ini momentum kedua reformasi birokrasi. Tempo hari, mereka berkeluh kesah ketika urus mutasi dan promosi, bupati tidak tanya-tanya mereka. Sekarang, saatnya untuk tidak berkeluh kesah, eh, malah mereka lewatkan momentum itu. Yang benar saja.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 19 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar