Kasus Korupsi di Sebuah Intansi
Oleh Frans Anggal
Kejari Ruteng kembali menahan 4 tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan 30 kapal ikan pada Dinas Pertanian, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Manggarai Timur, Kamis 12 Agustus 2010. Sebelumnya, kejari menahan 3 tersangka, disusul 4 tersangka. Total yang sudah ditahan 11 tersangka. Satu tersangka belum, masih sakit (Flores Pos Sabtu 14 Agustus 2010).
Kalau si sakit sembuh dan ditahan, maka jumlah tahanan dalam kasus dugaan kerugian negara Rp570 juta ini 12 orang. Kedubelasan Manggarai Timur! Ini menarik. Selain banyak sebagai jumlah, 12 juga simbolik sebagai angka.
Banyak. Dua belas tersangka, pada satu kasus, pada satu dinas, di sebuah kabupaten baru. Saking banyak, ‘jemaah’ ini ‘diterbangkan’ bergelombang ke rutan . Kloter pertama 3 orang, termasuk kadis. Kloter kedua 4 orang. Kloter ketiga 4 orang. Kloter keempat (nanti) 1 orang (masih sakit).
Simbolik. Dua belas itu simbol kepenuhan, kegenapan, kesempurnaan. Kitab Suci mengenal 12 suku Israel, 12 rasul. Kalender tahunan mengenal 12 bulan. Mesin jam mengenal 12 angka siklus waktu. Jadi, 12 itu ‘hebat’. Tentu, untuk hal yang patut dibanggakan. Sedangkan untuk yang sebaliknya, 12 itu ‘heboh’. Keduabelasan Manggarai Timur: itu heboh, buka hebat.
Semakin heboh, ketika satu dari keduabelasan bikin pernyataan yang mengesankan seolah-olah masuk rutan itu hebat. Tersangka Agus Tandur bilang, dia siap menerima keputusan apa pun dari penyidik kejaksaan, apakah ditahan atau tidak. Sebab, kata dia, yang terjadi ini adalah konsekuensi menjalankan tugas sebagai abdi negara.
Terkesan hebat, karena dibubat-buat hebat. Masuk tahanan dianggap sebagai konsekuensi tugas abdi negara. Seolah-olah, karena menjalankan tugas abdi negara, keduabelasan itu ditahan. Kalau benar demikian maka harus dikatakan pula: menunaikan tugas abdi negara itu melanggar hukum. Mengabdi negara itu tindak pidana. Lebih jauh: kalau tak ingin dihukum, jangan mengabdi negara. Kalau tak ingin dibui, jangan jadi abdi negara.
Benarkah itu? Akal sehat kita pasti bilang tidak. Mengabdi negara, perbuatan luhur. Bahkan kewajiban etis setiap warga negara. Kalau begitu, apa yang salah? Yang salah---disengajakan atau tidak---adalah logika si anggota keduabelasan. Ia hanya mencolokkan dua hal: “abdi negara” dan “ditahan”. Ia lupakan atau abaikan atau sembunyikan hal paling penting. Yaitu, perbuatan melawan hukum. Tindak pidana korupsi.
Itulah yang terpenting. Melanggar hukum atau tidak. Bukan, mengabdi negara atau tidak. Keduabelasan ditahan bukan karena telah mengabdi negara. Mereka ditahan karena telah melakukan korupsi. Abdi negara atau bukan, asalkan terlibat korupsi, pasti ditahan kalau ancaman hukumannya di atas 5 tahun dan/atau dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan.
Di sini luar biasanya keduabelasan Manggarai Timur. Luar biasa karena hebohnya, bukan karena hebatnya. Heboh, karena jumlah mereka duhai banyaknya. Heboh, karena sebanyak itu hanya dari satu kasus, pada satu dinas, di sebuah kabupaten yang masih baru. Heboh, karena ‘jemaah tersangka’ ini dirutankan bergelombang dalam empat ‘kloter’. Heboh, karena salah satu anggotanya bikin pernyataan menyesatkan, seakan-akan masuk rutan itu hebat.
Inilah hebohnya Manggarai Timur. Heboh di tengah hebat perayaan HUT Ke-65 Republik Indonesia. Kemerdekaaan diisi dengan kebersimaharajalelaan.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 18 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar