Nama Bandara dan Pelabuahan Laut Maumere
Oleh Frans Anggal
Senin 9 Agustus 2010, Menhub Fredy Numberi meresmikan nama baru bagi bandar udara dan pelabuhan laut Maumete, Kabupaten Sikka. Bandar Udara Frans Seda, menggantikan Waioti. Pelabuhan Laut Lorens Say, menggantikan Sadang Bui (Flores Pos Senin 9 Agustus 2010).
Hari-hari jelang peresmian ini, Sikka ’panas’. Sebagian masyarakat menilai, penggantian nama ini hanya keinginan dari, oleh, dan untuk kepentingan segelintir elite politik Sikka. Prosesnya tidak demokratis. Tertutup. Tanpa uji publik. Tanpa sosialisasi. Motif dan prosedur seperti ini mengecilkan kebesaran Frans Seda dan Lorens Say. Mereka akan lakukan gugatan hukum class action.
Tanggapan elite politik ’diwakili’ pernyataan Ketua DPRD Rafael Raga. Proses penggantian nama telah melewati tahapan yang benar: sosialisasi, rapat, pandangan fraksi, dan paripurna DPRD. Meski demikian, ia minta maaf kepada warga yang tidak puas.
Semua puas, tidak. Semua tidak puas, juga tidak. Tidak semua puas, ya. Tidak semua tidak puas, juga ya. Kalau tunggu semua puas, sulit. Tapi minimal sebagian besar puas, bisa. Untuk memastikannya, cara paling ideal adalah referendum. Tapi makan waktu, makan ongkos. Kapan selesainya? Berapa biayanya? Dari mana anggarannya? Repot!
Agar tidak terlalu repot, tapi bisa representatif, orang melakoni demokrasi perwakilan. Dalam politik, ia jadi electoral politics, gantikan citizenship politics. Dengan demikian, ketika keputusan harus diambil, yang berkonsensus bukan lagi seluruh warga, tapi segelintir elite yang mewakili warga. Apakah yang parsial ini benar-benar mewakili yang total, itu soal. Demokrasi pun bermasalah.
Keterbatasan demokrasi justru pada fasilitas konsensual yang ia sediakan. Demokrasi memang hanya mengolah kebenaran politik di antara mereka yang berkonsensus. Bahkan, konsensus itu harus diwakilkan pada hanya segelintir orang melalui sistem perwakilan politik. Itu berarti peluang bagi praktik oligarki.
Dalam penggantian nama bandar udara dan pelabuhan laut Maumere, praktik oligarki ini yang disorot. Penggantian nama itu hanya keinginan dari, oleh, dan untuk kepentingan segelintir elite politik Sikka. Kalaupun ada sosialisasi, rapat, pandangan fraksi, dan paripurna DPRD, pelakunya tetap saja segelintir elite politik itu, bukan segenap warga.
Mau segenap warga? Bikin saja referendum! Tampaknya, sulit, kecuali gugatan class action diterima. Selain sulit, ’lucu’. Karena, yang nanti tentukan perlu tidaknya referendum tetap saja segelintir elite politik itu. Inilah ironi demokrasi. Apakah demokrasi harus dicampakkan? Tidak. Demokrasi memang bukan ideal terbaik bagi pengaturan politik, namun itu yang termungkin menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga negara.
Kuncinya tetap manusia: yang bisa berbuat adil, juga bisa sewenang-wenang. Demokrasi ditentukan oleh kapasitas itu. Benar kata Jimmy Carter, presiden AS: ”Kapasitas manusia untuk berbuat adil menyebabkan demokrasi mungkin; kapasitas manusia untuk sewenang-wenang menyebabkan demokrasi perlu.”
Apakah segelintir elite politik Sikka berbuat adil? Ataukah sewenang-wenang? Frans Seda dan Lorens Say tahu jawabannya. Apa pun itu, sudah terjadi. Nama mereka telah terpatri, usai memberi arti, bagi negeri, tempat mengabdi. Selamat!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 10 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar