Maraknya Kejahatandi Bulan Ramdahan
Oleh Frans Anggal
Menyikapi berbagai kejahatan yang marak pada bulan Ramadhan, Polres Ende melakukan sosialisasi pengamanan tempat kerja bagi kalangan perusahaan, Selasa 24 Agustus 2010. Hadir, pihak BRI, BNI, Danamon, Pertamina, SPBU, pegadaian, dan pemilik toko perhiasan.
“Sekarang ini (kejahatan) sedang ramai-ramainya jelang hari raya Idul Fitri. Terkadang situasi ini dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,” kata Kasat Samapta Ketut Badria (Flores Pos Rabu 25 Agsutus 2010).
Manfaatkan kesempatan. Itulah kiat pencuri, perampok, penjambret, teroris. Kesempatan itu mereka temukan justru pada bulan Ramadhan. Pada bulan ini, umat Islam seluruh dunia berpuasa, tapa, mati raga, berdoa, dan bertobat. Tali silaturahmi diperbarui. Di bulan ini, kasih menang atas kebencian.
Puasa bukan monopoli Islam. Tradisi ini sudah dijalankan berbagai agama jauh sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW. Bahkan sudah ada jauh sebelum Yesus lahir. Namun, dalam perkembangan laku puasa, hanya Islam yang tetap menjalankannya secara massal, dengan aturan yang masih rigid dan ketat. Ini ciri utama sekaligus kelebihan Islam.
Dengan laku puasa yang massal, rigid, dan ketat itu, Islam memetik dua manfaat. Di satu sisi, meneruskan otentisitas tradisi keberagamaan. Di sisi lain, mencegah perubahan yang mudah terperosok menjadi wujud kompromistis terhadap berbagai kelemahan daging yang kini justru menjadi ciri dunia modern yang konsumtif dan hedonistik.
Dengan laku itu, yang rohani mendapat perhatian lebih ketimbang yang jasmani. Yang duniawi (sejenak) dilupakan demi yang surgawi. Itu bagi yang benar-benar mengibadahkan puasa sebagai jalan kembali ke fitrah. Bagi pencuri, perampok, penjambret, teroris, sebaliknya. Besarnya perhatian terhadap yang surgawi dipandang sebagai ‘kelengahan’ terhadap yang duniawi. ‘Kelengahan’ ini mereka manfaatkan. Kejahatan pun marak pada bulan Ramdhan.
Yang mengherankan, sebelum era Reformasi, kejahatan pada bulan Ramadhan tidak sesemarak ini. Para penjahat rupanya tahu, ‘kelengahan’ warga pada bulan ini semakin menjadi lahan empuk karena negara juga ‘lengah’ dan lemah. Ini sulit terjadi pada masa Orde Baru. Terlepas dari berbagai kekurangannya, Presiden Soeharto mampu menjaga kadaulatan negara, ke dalam dan ke luar.
Ke dalam, ‘kemerdekaan politik’ (political freedom) memang musnah, tapi ‘kemerdekaan sebagai penduduk’ (civil liberty) tetap ada. Warga tahu, kapan pun dan di mana pun aparat keamanan selalu siaga dan tegas. Tidak seperti sekarang. Kita tidak tahu apakah di jalan, di pasar, di bank, di tempat ibadah kita aman dan pulang ke rumah tidak sebagai mayat.
Penuturan penyanyi Tri Utami layak disimak. “Saya khawatir, sekarang saya ke ATM saja saya nggak mau. Benar, saya tidak mau mengambil (uang) ke ATM, perasaan saya nggak aman saja. Gue hidup di zaman Pak Harto, gue lebih aman. Artinya, pembunhan tidak sebanyak ini, penghinaan terhadap keagamaan tidak seperti ini” (Flores Pos Rabu 25 Agustus 2010).
Yang mengherankan, di tengah civil liberty yang tidak terjamin ini, di luar negeri Presiden SBY berkali-kali mengklaim keberhasilan pluralisme dan toleransi agama di Indonesia. Di luar, di tingkat doksi, ia banggakan negerinya. Di dalam, di tingkat praksi, ia biarkan warganya ketakutan. Inikah “Reformasi Gelombang Kedua” yang ia canangkan? Seperti “Reformasi Gelombang Tsunami” saja!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 26 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar