Pengeroyokan Wartawan di Flores
Oleh Frans Anggal
Aparat Polres Manggarai telah menangkap Kepala Puskesmas Beokina, Wily Dugis, Selasa 3 Agustus 2010, menyusul laporan dari tiga wartawan: Ferdinand Ambo (TVRI), Melky Pantur (Suara Flores), dan Maxi MD (Sukses Indonesia). Ketiganya dikeroyok Wily Dugis dan staf di Puskesmas Beokina, Kecamatan Rahong Utara, Senin 2 Agustus, ketika sedang menjalankan tugas jurnalistik (Flores Pos Rabu 4 Agustus 2010).
Wily Dugis sudah diperiksa. Sudah jadi tersangka. Untuk kepentingan penyelidikan, polisi masih harus olah tempat kejadian perkara, mengambil barang bukti, dan menangkap pelaku lain. Sementara itu, Asosiasi Wartawan Manggarai (Awam), anggota DPRD, dan elemen mahasiswa dari GMNI dan GMPI menuntut proses hukum yang seadil-adilnya dan tuntas. Mereka mendesak para pelaku ditahan.
Dibandingkan dengan premanisme lain terhadap jurnalis di Flores, kasus di Beokina ini luar biasa. Pertama, penganiayaan terjadi dalam kantor pemerintah, yang notabene dibangun menggunakan uang rakyat. Terjadi pada jam dinas, yang katanya jam pelayanan bagi masyarakat. Dilakukan rame-rame, melibatkan kepala dan staf kantor, yang katanya abdi masyarakat.
Ada indikasi, pengeroyokan direncanakan. Saat ketiga wartawan mewawancarai kepala puskesmas, banyak staf pria masuk ruangan. Tampaknya mereka sudah ’siap’ sebelum laksanakan ’tugas’. Demikian ’siap’ dan ’kompak’, tidak hanya menganiaya korban, mereka juga merobek kartu pers dan tas kamera serta menahan sepeda motor. Demikian ’siap’ dan ’kompak’, tidak hanya dalam ruangan mengeroyok, di luar uangan pun mereka mengejar korban.
Kedua, kasus ini terjadi pada Senin. Hari apel bendera. Boleh dibilang, Senin itu ’hari suci’-nya pegawai pemerintah. Hari penuh ritus protokoler. Berbaris rapi di halaman kantor, menghormati bendera, mendengarkan wejangan, memanjatkan doa, dst. Dengan tangan, mereka menghormati bendera dan Tuhan. Dengan tangan yang sama, pada hari yang sama, mereka menganiaya orang.
Pengeroyokan itu jelang tengah hari. Jadi, hanya beberapa jam setelah waktu apel bendera yang mengawali kegiatan kantor. Ritus protokoler itu, yang biasanya dilaporkan berlangsung aman, tertib, dan lancar, ternyata tidak berbekas. Tidak membarui pikiran, sikap, dan tingkah laku. Sekadar masuk di telinga kiri untuk kemudian keluar di telinga kanan.
Ketiga, para pelaku penganiayaan adalah petugas kesehatan. Tugas pokok mereka merawat kesehatan masyarakat, tapi koq malah bikin orang jadi sakit. Dua dari tiga wartawan yang mereka ’jamah’ itu sampai harus dirawat di RSUD Ruteng. Sedangkan satunya mendingan kondisinya karena lolos dari kejaran para algojo.
Kasus ini sangat memalukan jajaran dinkes Manggarai. Puskesmas Beokina, sebagaimana semua puskemas dan pustu, sesungguhnya rumah sakit kecil. Dalam bahasa Inggris, ”rumah sakit” itu ”hospital”. Dari kata ”hospital” lahir kata ”hospitality”, yang diindonesiakan menjadi ”hospitalitas”, yang berarti ”keramahtamahan” atau ”kegemaran menerima tamu”.
Betapa jauhnya makna itu dari apa yang dipertontonkan puskesmas Beokina. Hakikat rumah sakit mereka ganti: ”keramahan” jadi ”kemarahan”. Marah itu gila kecil, kata pepatah. Kalau sampai amuk, keroyok, itu gila besar. Malah gila benaran, menurut kamus adab manusia akal sehat. Pertanyaan kita: apa tindakan dinkes terhadap mereka yang ’tidak sehat’ ini?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 5 Agustus 2010
1 komentar:
Pecat Aja.Ajukan Ke PPNI biar dibina
Posting Komentar