Gerakan Swasembada Pangan Kabupaten Ende
Oleh Frans Anggal
Bupati Ende Don Bosco M Wangge mengatakan, saat ini GSP 2012 telah dipelesetkan oleh oknum-oknum tertentu dari Gerakan Swasembada Pangan menjadi Gerakan Syok Pahlawan. Tanggapannya? Pelesetan ini merupakan cambuk bagi bupati, wabup, dan jajarannya untuk lebih giat bekerja sama menyukseskan GSP 2012 (Flores Pos Kamis 26 Agustus 2010).
Pelesetan adalah ‘penggelinciran’ atas kata, singkatan, atau akronim sehingga menimbulkan makna lain atau makna berlawanan. Tujuannya, mengkritik, bisa juga menghina, merendahkan. Sasarannya, pihak lain (kritik sosial), bisa juga diri sendiri (kritik diri). Ini lumrah.
Di luar negeri, ketika demokrasi disalahpraktikkan sebagai delusi (alat tipu daya untuk sembunyikan ketidakadilan), democracy dipelesetkan jadi democrazy (crazy = sinting). Di Indonesia, masa Orla, ketika Wapres Hatta mundur karena tak akur dengan Presiden Soekarno, Soekarno-Hatta dipelesetkan jadi Soekar-No-Hatta (betapa sukarnya kalau tanpa Hatta).
Masa Orba, ketika KKN Presiden Soeharto menggila, Supersemar dipelesetkan dari Surat Perintah Sebelas Maret jadi Sudah Persis Seperti Marcos (presiden Filipina yang terkenal korup kala itu). Masa Reformasi, ketika Presiden SBY terkesan ‘dikendalikan’ Wapres JK, Amien Rais memelesetkan SBY: Soesilo Bawahan Yusuf.
Itu contoh kritik terhadap pihak lain. Meski tidak umum, ada pula pelesetan sebagai kritik terhadap diri sendiri. Dulu, konstitusi kongregasi SVD (Societas Verbi Divini atau Serikat Sabda Allah) melarang keras anggotanya merokok, sedangkan minum anggur (miras) tidak. Maka, oleh anggotanya sendiri, SVD dipelesetkan: Smoke We Don’t, So We Drink (kami dilarang merokok maka kami minum). Hanya orang yang matang kepribadiannya yang mampu mengkritik diri.
Kematangan kepribadian juga tampak dari cara menanggapi pelesetan. Bupati Don Wangge tunjukkan itu. Pelesetan GSP 2012 ia sikapi tidak hanya dengan kepala dingin, tapi juga dengan tekad menjadikannya cambuk prestasi. Ia berpikir positif. Pujian masuk kantong plastik. Kritikan masuk bokor kencana.
Dalam cacatan pepolitikan di Ende, inilah pelesetan kedua terhadap bupati-wabup Don Wangge-Ahmad Mochdar yang populer dengan akronim DOA (Don-Ahmad). Pada masa kampanye pilkada, DOA dipelesetkan jadi Dana Orang Arab. Pelesetan ini hendak mencitrakan betapa ‘berbahaya’-nya pasangan Katolik-Islam ini. Seakan-akan DOA hendak lempangkan jalan islamisasi. Sentimen agama diperalat demi kepentingan politik kekuasaan.
Terhadap pelesetan DOA, bagaimana tanggapan Wangge-Mochdar, sejauh ini belum dipublikasikan. Rupanya karena dianggap isu peka. Karena peka maka tidak diberitakan. Padahal, persoalan bagi jurnalisme bukan itu. Bukan boleh atau tidak boleh memberitakan, tapi bagaimana memberitakan. Pemberitaan itu penting. Karena, esensi berita adalah verifikasi, pengujian kebenaran.
Kalau tidak diberitakan, dengan demikian pula tidak terverifikasi, maka pelesetan akan sekadar dan tetap menjadi gosip. Celakalah masyarakat yang dikepung gosip, yang mengonsumsi gosip, dan mengambil keputusan berdasarkan gosip.
Pada titik ini, kita mengapresiasi sikap Wangge-Mochdar. Tidak hanya karena berpikir positif menghadapi pelesetan, tapi juga karena keduanya proaktif membuat pernyataan pers. Gosip tidak ditangkis dengan gosip. Gosip dilawan dengan verifikasi. Maka, betapa pentingnya berita. Betapa pentingnya media.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 27 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar