Yang Privat Diseret ke Ruang Publik
Oleh Frans Anggal
Setelah seminggu lumpuh, kegiatan SDK Kelewae, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, kembali normal. Pemilik tanah yang menyegel ruangan menyerahkan kembali kunci sekolah, dalam pertemuan di kantor Desa Kelewae, Selasa 3 Agustus 2010. Hadir, asisten I setda, kadis PPO, ketua yayasan, sekcam, para guru, dan tokoh masyarakat (Flores Pos Jumat 6 Agustus 2010).
Penyegelan dilakukan pemilik tanah sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah yang dinilai tak konsisten. Atas desakan pemilik tanah dan komite sekolah, dua guru SDK Kelewae dipindahkan ke sekolah lain, 13 April 2010. Tepat tiga bulan kemudian, 13 Juli, keduanya dikembalikan ke SDK Kelewae. Ini yang memicu penyegelan sekolah.
Persoalan pokok kasus ini tak ada kaitan dengan sekolah. Tak ada kaitan dengan yayasan. Murni masalah pribadi para pihak. Masalah keluarga. Masalah persekutuan adat. Sengaja dibiaskan ke sekolah, hanya untuk ’menyingkirkan’ dua guru yang terlibat. Ketika keduanya dipindahkan, masalah mereda. Begitu keduanya dikembalikan, masalah muncul lagi. Dan, makin tidak proporsional.
Tidak proporsional, karena masalah di ruang privat diseret ke ruang publik. Sekolah disegel, belajar mengajar terhenti, hak murid atas pendidikan terabaikan, orangtua/wali murid dan masyarakat dirugikan. Ini memprihatinkan. Privat dan publik tidak dibedakan, tidak dipilah, tidak dihargai.
Kejadian serupa, di Ende, sebulan sebelumnya. Sejumlah warga Desa Nanganesa memagari jalan raya di tapal batas dengan Desa Wolotopo, Senin 12 Juli 2010. Kendaraan dilarang lewat. Yang diperbolehkan hanya pelajar dan pekerja. Roda perekonomian lumpuh total (Flores Pos Selasa 13 Juli 2010).
Pemagaran ini merupakan reaksi warga Desa Nanganesa atas penyerangan oleh sejumlah warga Desa Wolotopo. Penyerangan itu rentetan perkelahian hari sebelumnya saat pesta nikah di wilayah Desa Nanganesa. Awalnya, persoalan di ruang privat: perkelahian antar-orang atau kelompok orang. Terjadi pada hajatan privat: pernikahan. Persoalan di ruang privat ini diseret ke ruang publik.
Apa yang dilakukan di ruang publik itu? Tindak pidana! Di Nagekeo, sekolah disegel. Di Ende, jalan diblokir. Keduanya menghilangkan akses publik. Di Nagekeo, akses pendidikan. Di Ende, akses ekonomi. Apa tindakan negara?
Pada kasus Nagekeo dan Ende, syukurlah, negara tidak menonton. Tidak seperti yang terjadi pada kasus pemblokiran jalan raya oleh sekelompok warga di perbatasan Ngada-Manggarai Timur. Pemblokiran sudah tiga bulan. Tak ada tindakan apa pun. Negara lakukan pembiaran. Seperti pada banyak kasus lain di negeri ini, negara seakan tak berdaya.
Terkesan, Indonesia bergerak dari satu kutub ke kutub lain. Pada masa Orde Baru, negara begitu kuat. Kekuatan masyarakat tak bisa mengambil ahli fungsi negara. Pada masa Roformasi, sebaliknya. Struktur negara goyah. Aparat tidak percaya diri menegakkan hukum. Ini memberi peluang merebaknya kriminalitas warga. Warga bebas merazia KTP warga lain. Bebas mengubrak-abrik tempat hiburan. Etika kewargaan, etika publik, mati terinjak-injak.
Sebentar lagi kita rayakan HUT kemerdekaan RI. Apa yang patut disadari? Selama 65 tahun, kita baru nikmati ’kemedekaan politik’ (political freedom). Kita belum, masih jauh, bahkan makin jauh dari ’kemerdekaan warga’ (civil liberties). Sebelum merdeka, kita diteror penjajah. Setelah merdeka, di masa Orde Baru, kita diteror negara. Kini, di masa Reformasi, kita diteror sesama warga. Sekolah disegel. Jalan diblokir. Rumah ibadah dibakar. Tanah air ini, tanah air mata. Belum, tanah mata air. Ah!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 7 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar