Kemajemukan Tetap Dikorbankan
Oleh Frans Anggal
Presiden SBY menegaskan, bangsa Indonesia harus pertahankan empat konsensus dasar. Yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Penegasan itu disampaikan dalam ramah tamah dan buka puasa bersama para perintis kemerdekaan, veteran, dan purnawirawan, di Istana Negara, Jakarta, Jumat 13 Agustus 2010 (Flores Pos Sabtu 14 Agustus 2010).
Mendengar ini, kita terhibur. Semacam pelipur lara. Tapi cuma sejenak. Cuma sepanjang kata sambutan. Sesudahnya, kita kembali ke kenyataan. Ke praktik kehidupan bernegara. Makin jauh panggang dari api. Makin jauh kenyataan dari pernyataan. Dari pelipur lara, kita kembali lagi ke duka lara.
Dalam duka lara, kita dihibur lagi. Presiden tidak nafikan kenyataan. Ia ingatkan adanya bahaya. Akhir-akhir ini mucul beberapa kelompok yang menolak Pancasila sebagai dasar negara. Mereka inginkan ideologi tertentu jadi dasar negara. Di beberapa daerah muncul sejumlah gerakan separatis yang menolak konsep negara kesatuan.
Terhadap gerakan ini, negara tidak diam. Dalam perkembangan, kata presiden, polisi berhasil mengungkap dan menanggulangi berbagai upaya mengganti keempat konsensus dasar. Lagi-lagi, kita terhibur. Tapi, lagi-lagi, cuma sejenak. Cuma sepanjang kata sambutan. Dari sambutan, kita kembali lagi ke sumbatan.
Salah satu sumbatan: kita belum benar-benar merdeka dalam kemajemukan. Padahal, salah satu konsensus dasar kita adalah Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi satu. Satu tapi berbeda-beda. Baik pada era Orla, Orba, maupun era Reformasi, pilar ini belum berdiri tegak lurus. Masih miring ke satu sisi. Gaya beratnya masih ke “persatuan”, menjauhi “kemajemukan”.
Pada era Orla, persatuan nasional menjadi akumulasi kehendak dan kekuatan revolusioner. Segala perbedaan suku, budaya, agama, bahasa, dinomorduakan. Bahkan, kemajemukan harus dikorbankan demi kepentingan ‘bangsa’ (nation). Soekarno menyebutnya “samenbundeling van alle revolutionaire krachten” (penyatu-paduan semua kekuatan dan tenaga revolusioner).
Pada era Orba, kemajemukan tetap dikorbankan. Namun, dengan tekanan baru. Bukan lagi dami kepentingan ‘bangsa’ seperti pada Orla, tapi demi kepentingan ‘negara’ (state). Kemerdekaan, yang oleh Soekarno diperuntukkan bagi ‘penyatu-paduan semua kekuatan dan tenaga revolusioner’, oleh Soeharto diidentikan dengan ‘pembangunan’. Demi pembangunan, persatuan pun diganti dengan stabilitas dan penyeragaman.
Pada era Reformasi, kemajemukan tetap dikorbankan. Kali ini, bukan demi kepentingan ‘bangsa’ (Orla), bukan pula demi kepentingan ‘negara’ (Orba), tapi demi kepentingan kelompok ‘warga’ (citizen). Yang mengkhawatirkan, pergeseran ini terjadi bukan karena negara kuat, tapi karena negara lemah. Betapa berbahayanya! Warga yang tidak siap bermajemuk, hidup dalam negara yang strukturnya goyah. Warga bisa mengambil ahli fungsi negara.
Itulah yang kini terjadi. Warga bisa bertindak sesukanya terhadap warga lain. Warga bebas lakukan sweeping, memblokir jalan raya, menyegel sekolah, membakar tempat ibadah, mengubrak-abrik tempat hiburan, merazia KTP warga lain, dll. Negara seakan tak berdaya. Aparatnya seakan tak percaya diri.
Selasa, 17 Agustus 2010, kita rayakan HUT ke-65 kemerdekaan. Kenyataan yang kita hadapi: di satu sisi, kita semakin memiliki ‘kemerdekaan politik’ (political freedom). Ini baiknya. Namun, di lain sisi, kita semakin kehilangan ‘hak sebagai penduduk’ (civil liberty). Ini aibnya.
“Bentara” FLORES POS, Senin 16 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar