Hakim dan Jaksa Perlu Diperiksa
Oleh Frans Anggal
Ketua Komisi III DPR RI Benny K Harman mendesak tim independen MA dan Kejagung memeriksa hakim dan jaksa yang menangani proses hukum kasus kematian Romo Faustin Sega Pr, khususnya berkenaan dengan vonis tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT) Kupang yang memutus bebas Anus Waja dan Theresia Tawa dari hukuman penjara seumur hidup yang telah dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Bajawa (Flores Pos Senin 23 Agustus 2010).
Menurut ketua komisi yang membidangi hukum dan HAM ini, pemeriksaan sangat penting mengingat adanya fakta putusan yang bertentangan. PN Bajawa memvonis Waja-Tawa penjara seumur hidup, PT Kupang memvonisnya bebas. Fakta bertolak belakang ini mencederai huokum dan melukai rasa keadilan. “Dengan pemeriksaan, publik tahu apa yang terjadi di balik dua putusan itu.”
Kita dukung desakan ini. Selain karena adanya fakta putusan yang bertentangan, juga karena adanya fakta umum praktik ‘pasar gelap keadilan’ (black market of justice). Filosof Rocky Gerung mendefiniskannya sebagai keseluruhan praktik penegakan hukum yang bekerja dalam prinsip oportunisme total. Jual beli kasus oleh pengacara, sogok-menyogok polisi-jaksa-hakim, jual-beli RUU parlemen-eksekutif, sampai pada praktik rent seeking oleh parpol dalam pembuatan kebijakan ekonomi negara (Kompas 2 Juli 2008).
Dalam pasar gelap ini, keadilan yang merupakan tujuan utama hukum (just law) direndahkan. Dari keluhurannya sebagai ‘nilai’ (value), keadilan ditelapk-kakikan sebagai sekadar ‘harga’ (price). Begitu ada kejahatan, yang tergiang di kepala bukan ‘hukum’ tapi ‘pasar’. Yang terdesir di hati bukan perihal ‘luhung’ tapi persoalan ‘untung’. Kiat sukses bukan lagi how to be better (bagaimana menjadi lebih baik) tapi how to have more (bagaimana memiliki lebih banyak). Kalau kau ingin ‘menang’, saya harus ‘kenyang’!
Cara ‘menang demi kenyang’, itu gampang. Hukum bisa diatur, tidak mesti ditaati. Kata-kata Chrsitopher North (John Wilson) menjadi sangat bertuah. “Laws are made to be broken” (Noctes Ambrosianae No. 24 May, 1830). Hukum dibikin untuk dilanggar. Yang penting, dilanggar secara legal. Prosedurnya legal. Dokumen transaksinya pun legal. Karena legal, ya, siap takut. Open-open saja. Maka lahirlah kontradiksi: transaksi gelap dijalankan secara terang-terangan!
Itulah laku aparat hukum di Indonesia. Akal sehat diganti akal miring. Sedemikian miringnya sampai terbalik 180 derajat, sehingga tegak lurus dengan ‘mulut’ dan ‘perut’. Mulut yang hanya ingin ‘makan’ dan perut yang hanya ingin ‘kenyang’. Maka, di negeri ini, kredo akal sehat filosof Rene Descartes disepak buang. Descartes bilang: Cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada. I think therefore I am. Di sini menjadi: Manduco ergo sum. Saya makan maka saya ada. I eat therefore I am.
Laku akal miring patut dapat diduga telah terjadi dalam proses hukum kasus kematian Romo Faustin. Kemiringannya begitu kasatmata. Vonis penjara seumur hidup dimiringkan sedemikian hingga mencapai titik nol, menjadi vonis bebas. Dengan formula “terbukti secara sah dan meyakinkan”, Waja-Tawa dinyatakan “bersalah” oleh pengadilan negeri. Dengan formula yang sama pula, Waja-Tawa dinyatakan “tidak bersalah” oleh pengadilan tinggi. Ini kemiringan absolut.
Akal sehat kita pasti bilang, pasti ada yang tidak beres. Perlu dicek. Karena itu, desakan Benny K Harman tepat. Kita dukung. Tim independen MA dan Kejagung perlu segera periksa hakim dan jaksa. Terutama hakim PT Kupang.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 24 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar