Kasus Pembuangan Bayi di Ruteng
Oleh Frans Anggal
Ruteng geger. Dua bayi ditemukan tak bernyawa. Tempatnya berbeda, dalam wilayah Kelurahan Karot, dengan selang waktu cuma tiga hari. Jumat 12 Februari 2010, seorang bayi ditemukan di pinggiran irigasi Wae Ces 3. Senin 15 Februari, seorang lagi ditemukan di kebun milik warga, terkubur tidak wajar, dengan kedalam hanya 10 cm. Kasus ini sedang dalam penyelidikan polisi. Pelakunya belum ditemukan (Flores Pos Kamis 18 Februari 2010).
Kalau polisi bekerja serius, tidak butuhkan waktu lama temukan pelaku. Ruteng kota kecil. Jumlah penduduknya tidak seberapa. Relatif homogen. Sosialitas masyarakatnya masih tinggi. Maka, yang namanya rahasia sulit berumur panjang. Lewat ”mulutgram”, semuanya mudah dan cepat tersiar menjadi ”rahasia umum”. Termasuk soal kehamilan. Apalagi kehamilan di luar nikah. Terlebih lagi kehamilan karena inses.
Pelaku pasti segera ditemukan. Siapakah dia? Pikiran kolektif masyarakat cenderung mengarah pada perempuan. Sang ibu. Dia yang mengandung. Dia yang melahirkan. Dia pula yang mengakhiri kehidupan. Entah kenapa, dia diperbandingkan dengan harimau. Hasilnya: harimau lebih baik. Sebab, induk harimau tidak memakan anaknya sendiri. Begitulah vonis itu.
Yang sering luput dari pikiran kolektif masyarakat adalah beban sang ibu sebelum, pada saat, dan setelah tindakan yang dikecam masyarakat itu ia lakukan. Ada kekalutan, ketercekaman, dan mungkin juga rasa bersalah yang dalam. Bukan karena ia suci. Bukan. Tapi karena ia manusia, yang pasti punya hati. Selebihnya, karena ia perempuan.
Dalam telaah psikologi fenomenologis, perempuan lebih berminat untuk memelihara. Memelihara adalah mempertahankan nilai-nilai. Mobil milik perempuan dipelihara sebagai nilai yang harus dipertahankan. Sedangkan mobil milik laki-laki hanya dipakai. Dijadikan alat untuk mencapai tujuan dalam bekerja.
Demikian halnya dengan anak. Bagi ibu, anak adalah ’buah tubuh’, ’buah kandungan’, ’buah hati’. Di pangkuannya, bayi itu dihiasi. Dibelai lembut. Ada kesedihan dalam kelembutan itu, karena si kecil mungil ini akan jadi besar, berpisah, dan menjauh. Berbeda dari ibu yang memelihara, ayah lebih cenderung ’memakai’ anaknya. Ayah akan memikirkan apakah sang anak bisa menolongnya dalam pekerjaan.
Dengan ini kita hendak membatinkan satu hal. Kalau perempuan yang dari sononya suka memelihara, berani membunuh buah kandungannya sendiri, sangat mungkin hal luar biasa telah terjadi. Dan yang luar biasa itu boleh jadi datang dari luar dirinya. Berupa kekuatan yang memaksanya tidak berdaya sebagai objek, untuk kemudian bertindak sebagai subjek (membunuh buah kandungannya sendiri), seakan-akan itu pilihan bebasnya. Dan ketika itu ia lakukan, ia tercekam, penuh rasa bersalah.
Pembatinan ini kiranya meluputkan kita dari kecenderungan sok moralis dan terlalu gegabah menjatuhkan vonis. Apalagi kalau sampai mambandingkan sang ibu dengan induk harimau. Bahwa membunuh bayi itu tidak dapat dibenarkan, jelas. Demikian pula halnya menggugurkan kandungan. Sebab, hidup dalam kandungan pun hidup manusia. Hidup harus dihormati dan dilindungi.
Maka, yang diperlukan bukanlah sumpah serapah. Bukan pula hanya penegakan hukum. Tapi pendidikan dalam arti luas, bagaimana agar hidup dihormati. Daripada mengutuk kepekatan malam, bukankah lebih baik menyalakan sebatang lilin? Gereja Keuskupan Ruteng dengan uskup baru kiranya terus menyalakan lilin itu. Tidak sebatang. Tapi sebanyak-banyaknya.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar