Contoh Kasus Manggarai Barat dan Lembata
Oleh Frans Anggal
Undang-undang pertambangan baru, UU No. 4/2009, sangat pro-investor. Bagi hasilnya: perusahaan 90%, negara 10%. Bagian negara dibagi lagi: pusat 4%, daerah 6%. Bagian daerah dibagi lagi: provinsi 1%, daerah penghasil 2,5%, daerah lain dalam provinsi 2,5%.
”Rasanya, penghasilan untuk daerah tak sebanding dengan dampak negartif dari pertambangan itu kini dan akan datang,” kata Koordinator JPIC SVD Ruteng Pater Simon Suban Tukan SVD. Karena itu, UU ini perlu disosilisaiskan kepada masyarakat, terutama di lingkar tambang (Flores Pos Senin 1 Februari 2010).
Makin jelas, bagi daerah dan masyarakat, tambang itu lebih sebagai kutukan ketimbang berkat. Bupati tahu itu. Tapi, kenapa ngotot tambang? Jawabannya sederhana. Yang dipikirkan adalah kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum. Persetan daerahnya terima sedikit. Yang penting bupatinya terima banyak. Melalui izin tambang! Kalau investasinya Rp300 miliar, bupati minta 10 persen, apa susahnya. Investor paham. Tak ada makan siang yang gratis.
Selain itu, yang dipikirkan bupati adalah kepentingan jangka pendek, bukan jangka panjang. Soal kerusakan lingkungan dsb, itu urusan nanti. Saat itu ia bukan bupati lagi. Praktis itu urusan bupati lain. Urusannya sekarang, gemukkan kantong daerah dan, terutama, kantong pribadi. Dengan demikian, ia bisa apa saja. Bisa menangkan pilkada periode kedua. Untuk dapat kendaraan politik, ia beli partainya. Untuk dapat dukungan rakyat, ia beli suaranya. Gitu aja koq repot!
Demi kepentingan diri dan jangka pendek, ia halalkan semua cara. Benar-salah, baik-buruk, tidak jelas lagi batasnya. Ia bisa keluarkan izin tambang tanpa persetujuan DPRD. Ia bisa kasih izin tambang dengan kangkangi perda tata ruang. Ia bisa menerjang undang-undang, dengan ’merampas’ wewenang otoritas lebih tinggi. Di Mabar, misalnya, Bupati Fidelis Pranda keluarkan izin tambang di hutan lindung. Padahal, itu wewenang menhut.
Ini tidak hanya dikarenakan oleh faktor diri pribadi bupati. Ada faktor lain. Faktor birokrasi. Birokrasi patrimonial. Ini yang bikin semuanya enteng. Birokrasi patrimonial ditandai ’relasi bapak-anak buah’ (patron-klien relationship). Bupati ’bapak buah’. Kepala dinas dll ’anak buah’. Tak jarang anggota DPRD juga. Hubungannya bersifat ikatan pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar tali perhubungan.
Dalam relasi macam ini, birokrasi hasilkan pertukaran loyalitas politik dengan sumber ekonomi. Kalau Anda loyal, Anda diberi sumber ekonomi, dikasih kedudukan basah, disodori proyek besar. Tapi kalau Anda tidak loyal, sumber ekonomimu dibendung, bila perlu dimatikan. Tak heran, di Lembata misalnya, para kadis dan anggota DPRD pontang-panting sosialisasikan tambang. Mereka loyalis Bupati Ande Manuk. Atau, di Mabar, kadis kehutanan mati daya kritisnya ketika pertambangan merambah hutan lindung. Habis, dia cuma anak buah.
Dikelilingi anak buah serba takluk, taat, penurut, bupati merasa diri selalu benar. Apalagi kalau DPRD-nya lemah gemulai. Ditempeleng pake duit langsung tersungkur. Jadilah: semuanya mudah diatur. Bupati pun maju tak gentar membela yang cemar. Dikritisi dari luar, ia reaktif dan defensif. Para kritisi dicap provokatur. Ini menimpa banyak imam di Flores-Lembata.
Mempertimbangkan faktor diri pribadi bupati dan birokrasi patrimonial, kita bersyukur punya ’imam provokatur’. Mereka cerahkan dan bela kepentingan masyarakat kecil. Kalau mereka pikirkan kepentingan pribadi seperti bupati ngotot tambang, gila apa mereka capek-capek naik turun gunung? Dalam konteks inilah kita hargai dan dukung perjuangan mereka. Maju terus, imamku!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 2 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar