17 Februari 2010

Ketika Murid Itu Terluka

Guru SMA Ende Dikeroyok Keluarga Murid

Oleh Frans Anggal

Keluarga seorang siswi sebuah SMA di Ende mengeroyok seorang guru di sekolah. Kaca ruang kasek pun mereka pecahkan karena kasek berupaya lindungi gurunya di ruangan itu. Pengeroyok sudah di tangan polisi (Flores Pos Selasa 16 Februari 2010).

Awal kasus, seorang ibu guru nasihati muridnya dalam kelas. Isinya mempermalukan seorang siswi. ”Jangan seperti si anu, tidur di pangkuan laki-laki dalam kelas.” Siswi yang namanya disebutkan itu tidak terima baik. Ia mengadu ke keluarga. Keluarganya datang, masuk sampai ruang guru. Yang mereka hajar bukan si ibu guru, tapi seorang bapa guru. Karena, bapak guru inilah sumber cerita. Dari dialah si ibu guru tahu si anu tidur di paha laki-laki.

Datangi sekolah, itu tepat. Seandainya untuk minta klarifikasi, itu terhormat. Seandainya untuk cari jalan keluar, itu berguna. Ini tidak. Keluarga datang karena amarah dan bertujuan lampiaskan amarah. Mereka masuk tanpa permisi. Amarah mereka lampiaskan. Bapak guru mereka keroyok. Kaca ruang kasek mereka pecahkan. Mereka sudah tidak pakai otak. Ful pakai otot. Main hakim sendiri. Maka, wajar, mereka berurusan dengan hukum.

Kalau cara keluarga salah, apa lalu sekolah luput dari kesalahan? Tidak juga. Menasihati murid itu baik, malah harus. Sebab, guru bukan hanya pengajar. Dia juga pendidik. Bukan hanya penabur pengetahuan. Dia juga penyamai nilai-nilai. Karena itu, guru harus matang, dalam pengetahuan, sikap, dan kepribadian. Dia harus miliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.

Dalam banyak kasus, yang sering parah itu kecerdasan emosional. Ujian terbesarnya, ketika guru hadapi murid bermasalah. Cara yang ditempuhnya menunjukkan tingkat kecerdasan emosionalnya. Guru yang cerdas secara emosional tidak memberikan teguran atau hukuman dengan cara mempermalukan murid di depan teman-temannya. Guru yang cerdas secara emosional tidak merendahkan murid dengan kata-kata memojokkan.

Yang terjadi dalam kasus kita justru yang ini. Bagaimanakah perasan seorang murid, remaja putri, ketika oleh gurunya ia dijadikan contoh buruk bagi teman-temannya? Di depan teman-temannya pula? “Jangan seperti si anu, tidur di paha laki-laki dalam kelas.” Ini cara nasihat yang salah, betapapun luhur tujuannya. Salah, karena cara ini justru membuat murid terluka. Padahal, masih banyak cara lain yang lebih berterima.

Pertanyakan kita: dengan menjadikan si anu contoh buruk bagi teman-temannya, apakah tidur di paha laki-laki itu sudah pernah ditangani dengan baik? Kalau itu dianggap kasus, apakah wali kelas atau guru BP sudah mengurusnya? Apakah orangtua si anu sudah diberi tahu? Kalau semua itu sudah, berarti sudah selesai to? Lha, kenapa yang sudah selesai masih dikorek-korek lagi sehingga timbulkan luka baru di atas bekas luka lama?

Atau, jangan-jangan, kasus itu tidak pernah diurus. Kalau begitu ceritanya, gawat. Dengan tidak diurus maka kasus ini diserahkan kepada kesewenang-wenangan buah bibir. Digosipkan di sekolah. Digosipkan di ruang guru. Dst.

Dengan digosipkan, apa yang sesungguhnya terjadi? Si murid diadili secara sosial. Peradilan sosial adalah ‘peradilan in absentia’. Peradilan tanpa kehadiran si ‘terdakwa’. Ini sangat keji. Karena, si ‘terdakwa’ tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan posisinya.

Bayangkan, seandainya sudah begitu, si ‘terdakwa’ tadi dijadikan contoh buruk pula bagi teman-temannya. Gadis remaja mana yang tidak terluka dengan cara seperti ini? Kalau di sekolah ia merasa sudah ditolak, wajarlah ia mengadu ke keluarga. Keluarga marah juga wajar. Asal, tidak pakai cara yang kurang ajar.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 17 Februari 2010

Tidak ada komentar: