Kekeliruan Diagnosis Dokter Ahli RSUD Ende
Oleh Frans Anggal
RSUD Ende menyatakan ada kekeliruan diagnosis oleh dokter ahli bedah RSUD Ende terhadap luka yang diderita Petrus Nai Lengo (28) saat eksekusi tanah di Paupire, Selasa 26 Januari 2010. Kekeliruan terjadi karena diskomunikasi antara sang dokter dan bagian radiologi. Begitu kata Direktris RSUD Ende Yayik Prawitra Gati (Flores Pos Sabtu 30 Januari 2010).
Sebelumnya, sebagaimana dilansir Flores Pos Kamis 28 Januari 2010, dokter ahi bedah Nengah Raditha mengatakan, berdasaran pemeriksaan klinis dan radiologis, ada benda asing dalam luka korban. Berupa sepihan logam, sangat kecil, pada kedalaman 2 cm dari kulit. Ia tidak berani untuk lakukan operasi keluarkan serpihan itu karena serpihan sangat kecil dan peralatan RSUD Ende terbatas. Bila dipaksakan, bisa ganggu saraf lengan. Ia sarankan rujuk ke Denpasar.
Kalau hanya itu persoalannya, tak perlu heboh. Yang bikin heboh, luka ini dikaitkan dengan pengamanan eksekusi. Diduga, korban ditembak karena membawa parang saat eksekusi paksa hendak dilakukan. Kalau benar korban ditembak, pertanyaannya: siapa yang tembak?
Eksekusi ini libatkan 350-an personel keamanan. Terdiri dari Polres Ende, Kodim 1602/Ende, Sub Detasemen Polisi Militer IX/1-1 Ende, Kompi C Batalion Infanteri 743, Kompi B Brimob Ende, dan Satpol PP. Hanya Satpol PP yang tak pegang senjata api. Maka, diduga, penembaknya polisi atau brimob atau tentara. Padahal, belum tentu. Bisa saja pihak lain di luar 350-an personel.
Kalau benar korban ditembak, tembaknya pakai peluru apa? Karena yang ada dalam luka itu serpihan logam, lantas diduga, korban ditembak pakai peluru tajam. Padadal, belum tentu. Peluru tajam itu logam, ya. Tapi, tidak semua logam itu peluru tajam. Bisa saja, yang ada dalam luka itu logam bukan peluru tajam, yang melesak masuk atas cara tertentu.
Kapolres Bambang Sugiarto, selaku penanggung jawab pengamanan eksekusi, memastikan tidak ada penggunaan peluru tajam. Demikian juga Dandim Frans Thomas yang bertanggung jawab atas tugas back up. Polisi dan tentara hanya pakai peluru karet dan peluru hampa. Kalau benar luka korban disebabkan terjangan peluru tajam, tipologi lukanya tidak mungkin seperti itu, kata kapolres.
Peluru tajam ialah peluru yang mempunyai lubang di ujungnya. Saat menerjang sasaran lunak, peluru ini akan berubah ke bentuk cendawan yang menimbulkan kerusakan luas pada jaringan lunak. Tipologi luka korban tidak begitu. Maka, ada kemungkinan lain: terjangan peluru karet. Yakni proyektil terbuat dari karet atau dilapisi karet. Meski digunakan sebagai senjata tidak mematikan (kecuali berjarak dekat dan mengenai bagian vital), peluru karet tetap dapat tembus kulit. Kalau luka korban tadi dikarenakan terjangan peluru karet, kenapa sampai ada serpihan logam di dalamnya?
Teka-teki ini terpecahkan ketika RSUD Ende bersuara. Bahwa, yang disebut serpihan logam dalam luka itu sebenarnya tidak ada. Yang terbaca sebagai logam dalam luka itu sebetulnya logam marker penanda titik luka untuk memudahkan pembacaan hasil rontgen. Karena pengambilan fotonya dari samping, perspektif yang tampak: seakan-akan logam itu ada dalam luka. Maka, dilakukan rontgen ulang. Hasilnya, tidak ada logam dalam luka.
Sampai di sini, heboh ini mereda. Eh, muncul ’heboh’ baru. Saat dimintai klarifikasi oleh kapolres, dokter ahli bedah membantah lagi pernyataan persnya. ”Dokter Nengah mengakui bahwa dia tidak bicara seperti itu kepada wartawan,” kata kapolres. Hmmm. Sebelumnya polres terpojok. Kini pers tersudut. Begitulah ’penyakit keturunan’ narasumber di Indonesia. Buruk muka, cermin dibelah. Buruk berita, pers dicerca.
“Bentara” FLORES POS, Senin 1 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar