Kasus DBD di Sikka
Oleh Frans Anggal
Pasien demam berdarah dengue (DBD) di RSUD Maumere membludak. Nyaris tidak tertampung. Sejak Januari hingga 8 Februari 2010, kasus DBD sudah mencapai 130 lebih. Dari antaranya, 7 orang meninggal dunia. Sudah gawat.
Namun, simak apa kata Kadiskes Sikka Delly Pasande. ”Sikka belum KLB DBD. Memang ada potensi KLB, tapi belum bisa dikatakan sebagai wabah. Karena itu, warga jangan panik” (Flores Pos Rabu 10 Februari 2010). KLB, singkatan dari kejadian luar biasa.
Imbauannya benar. Jangan panik. Karena panik bisa bikin situasi tambah runyam. Mungkin ia khawatir, kalau itu tidak ia imbaukan, panik bisa menjadi histeria massa. Ia tidak mau masyarakat dilanda kecemasan berlebihan. Tapi, terus terang, tidak panik itu tidaklah gampang. Tidak semudah mengimbaukannya. Kadis gampang saja bilang jangan panik. Tapi, coba lihat kenyataan. Sudah gawat. Sudah bikin masyarat sulit untuk tidak panik.
Siapa tidak panik, hanya dalam sebulan, sudah 130 pasien DBD terkapar di rumah sakit. Siapa tidak panik, rumah sakit sudah kewalahan, nyaris tidak bisa tampung. Siapa tidak panik, hanya dalam sebulan, sudah 7 orang meninggal. Itulah situasinya. Dalam situasi itulah Kadis Delly Pasande kasih imbauan: jangan panik. Imbauannya benar. Motif dan tujuannya mungkin baik. Tapi, apakah perlu?
Kalau kita simak alasannya, imbauan itu tidak perlu ia ucapkan. Bahkan, tidak seharusnya ia ucapkan. Sebab, ia gunakan alasan yang patut dipertanyakan kebenarannya. Dia bilang, Sikka belum KLB DBD. Lho, 130 pasien dangan 7 meninggal itu apa? Ini bukan sekadar angka dengan jumlah sebegitu. Ini adalah fenomena gunung es. Angka itu hanyalah puncak yang tampak dari ’jumlah kesakitan’ (morbidity rate) dan ’jumlah kematian’ (mortality rate) yang sesungguhnya dalam masyarakat.
Sekadar gambaran, coba simak Laporan Pencapaian Indonesia Sehat (Depkes 2004). Angka penderita penyakit dalam laporan itu bersumber dari tempat pelayanan kesehatan (facility based data), yang diperoleh melalui pencatatan dan pelaporan. Persoalannya: tidak semua orang sakit berobat ke tempat pelayanan kesehatan. Biro Pusat Statistik (2004) menunjukkan, masih banyak penduduk Indonesia yang tidak pergi berobat ke tempat pelayanan kesehatan ketika mengalami gejala sakit fisik. Dengan demikian, sakit mereka tidak terdata. Hanya 38,21% dari penduduk yang disensus yang pergi berobat ke tempat pelayanan kesehatan.
Angka kasus demam berdarah pun ‘bernasib’ seperti itu. Yang tercatat hanyalah sejumlah kecil dari yang sesungguhnya. Dengan pemahaman inilah semestinya kita menilai dan menyikapi kasus DBD di Sikka. Bahwa, 130 pasien dangan 7 meninggal dalam sebulan itu hanyalah jumlah kecil dari yang sesungguhnya terjadi. Yang sesungguhnya itu sudah merupakan KLB.
Sayang, cara pandang ini bukan anutan Kadis Delly Pasande. Akibatnya bisa ditebak. Menghadapi kasus DBD, ia terperangkap dalam kekeliruan persepsi risiko. Ia salah menilai kemungkinan kerugian (potential of loss), yang mencakup baik kemungkinan terjadinya (vulnerability) maupun keparahannya (severity).
Tidak heranlah, meski sudah 130 pasien dan 7 meninggal dalam sebulan, DBD di Sikka masih ia anggap bukan KLB. Anggapan keliru inilah yang mendorongnya mengimbau masyarakat: ”... jangan panik. Sikka belum KLB DBD. Memang ada potensi KLB, tapi belum bisa dikatakan sebagai wabah.” Hmmm. Ini benar-benar ”KLB” (Komentar Luar Biasa). Maka, sepantasnya ia kita komentari secara luar biasa pula. ”Kadiskes Sikka, jangan keliru!”
“Bentara” FLORES POS, Kamis 11 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar