Menyoal Pernyataan Dandim Ende
Oleh Frans Anggal
Dandim 1602 Ende Frans Tomas mengatakan, pembangunan Korem dialihkan ke Maumere, Kabupaten Sikka, karena ditolak di Ende, Kabupaten Ende. Pemkab Sikka merespon baik rencana ini. Pembangunannya diperkirakan terlaksana 2013 (Flores Pos Senin 1 Februari 2010).
Menanggapi pernyataan Dandim Frans Tomas, Om Toki pada ”Senggol” Flores Pos Selasa 2 Februari 2010 berkomentar singkat. ”Ditolak di Ende, korem dibangun di Sikka.” Apa kata Om Toki? ”Bukan ditolak di Ende, ditolak di Flores.” Seorang imam di Ende, Romo Yos Liwu Pr, mengirim SMS. Ia nyatakan sependapat. Korem bukan ditolak di Ende, tapi ditolak di Flores.
Ditolak di Flores. Artinya: di mana pun di Flores, korem tidak diterima. Termasuk, sudah tentu, di Maumere. Dan itu sudah terbukti, sejak 1999, setelah jajak pendapat di Timor Timur, yang melepaskan provinsi ke-27 Indonesia itu dari pangkuan NKRI dan berdiri sendiri sebagai negara berdaulat, Timor Leste.
Dari dulu sudah ditolak. Berkali-kali. Sekarang pun ditolak. Simak saja tanggapan Bupati Sikka Sosimus Mitang. ”Tidak benar kalau dikatakan bahwa Pemkab Sikka merespon baik pembangunan korem di Maumere. Pemerintah dan SPRD belum ada wacana untuk bangun korem” (Flores Pos Jumat 5 Februari 2010).
Itu versi ’halus’-nya, khas pemerintah. Versi ’kasar’-nya keluar dari mulut masyarakat. Dari mulut Siflan Angi, Ketua Forum Peduli atas Situasi Negara (Petasan) Kabupaten Sikka. ”Dandim Ende jangan ngawurlah .... Dari dulu Pemkab Sikka tolak (korem). Pemkab dan masyarakat Sikka dan Flores belum butuh kehadiran korem ... Jadi, dandim jangan jual nama Pemkab Sikka. Saya minta (dandim) tarik pernyataan itu.”
Akankah Dandim Frans Tomas tarik kembali pernyataannya? Bisa ya, bisa tidak. Ia mudah menariknya kembali, pertama, kalau pernyataan itu bersumber dari dirinya sendiri dan, kedua, kalau pernyataan itu diakuinya salah. Sebaliknya, ia sulit menariknya kembali kalau pernyataan itu bersumber dari atasannya. Sebagai bawahan, itu bisa ia lakukan hanya atas perintah sang atasan.
Mempertimbangkan struktur hierarkis dan garis komando militer serta rencana startegis TNI AD dengan konsep teritorialnya, kita patut dapat menduga, Dandim Frans Tomas hanyalah seorang pelaksana lapangan rencana pembangunan korem di Flores. Sebagai pelaksana lapangan, ia hanya melakukan dan menyatakan apa yang diperintahkan. Dari pengalaman sejak 1999, peran ini dimainkan oleh dandim Ende, mulai dari Musa Bangun kala itu sampai dengan Frans Tomas saat ini. Namun, sejak 1999 juga, dandim berganti dandim, rencana pembangunan korem di Flores tetap kandas.
Persoalannya bukan pada dandim-nya. Tapi pada masyarakatnya. Masyarakat Flores, dengan berbagai pengalaman, kecemasan, serta banyak alasan yang sudah dirumuskan, dipublikasikan, dan diyakini kebenarannya, tiba pada simpulan, seperti yang dikatakan Siflan Angi. Flores belum butuhkan kehadiran korem. Itulah yang terbaik untuk Flores. Maka, TNI perlu konsekuen dengan ucapannya sendiri. Terbaik untuk rakyat, terbaik untuk TNI.
Dalam ’psikologi’ masyarakat Flores seperti ini, korem akan selalu jadi isu sensitif. Salah tindak, dilawan. Salah omong, dikecam. Kali ini dialami Dandim Frans Tomas. Pilihan terbaik untuk TNI: lupakan korem. Dan, diam. Si decem habeas linguas, mutum esse addecet, kata ungkapan Latin. ‘Bahkan jika engkau miliki sepuluh lidah, sebaiknya engkau tetap diam’. Si tacuisses, philosophus mansisses. Andai kau tetap diam, mungkin kau akan tetap jadi filsuf.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 6 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar