16 Februari 2010

Menempel Sumpah di Cermin

Pelantikan Pejabat Depag Ende

Oleh Frans Anggal

Kakan Depag Ende Marsel Sarman meminta para pejabat yang baru dilantik menempelkan sumpah jabatan di cermin, agar tetap diingat tiap hari. ”Sumpah jabatan bukan hanya gerakan bibir tanpa makna, tetapi harus dipahami dan dihayati,” katanya saat melantik dan mengambil sumpah 14 pejabat, Senin 25 Januari 2010 (Flores Pos Rabu 27 Januari 2010).

Cermin bisa harfiah. Kaca bening yang salah satu mukanya dicat dengan air raksa dsb sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda-benda yang ditaruh di depannya. Biasanya untuk melihat wajah ketika bersolek. Cermin bisa juga kiasan. Sesuatu yang menjadi pelajaran. Makna manakah yang dimaksudkan Kakan Depag Marsel Sarman?

Sulit dibayangkan kalau yang dimaksudkannya itu makna harfiah. Sebab, belum tentu semua pejabat yang dilantik dan diambil sumpahnya memiliki cermin. Kalaupun miliki, belum tentu semua mereka suka bercermin. Kalaupun miliki dan suka bercermin, belum tentu juga cerminnya cukup lebar untuk bisa ditempeli sumpah jabatan. Dan, bagaimana pula Kakan Depag mengontrolnya? Cermin biasanya disimpan dalam kamar tidur atau toilet.

Tampaknya, makna kiasanlah yang dimaksudkan. Bahwa sumpah jabatan itu harus menjadi pelajaran. Dengan demikian, ia tidak sekadar ’ditempelkan di cermin’, tapi ’menjadi cermin itu sendiri’. Di hadapannya, sang pejabat harus berkaca setiap hari. Kalau ini sungguh-sungguh dilakukan, mindset sesat tentang apa itu kedudukan dan jabatan bisa berubah.

Di negeri ini, kedudukan dan jabatan dipandang sebagai anugerah. Dan karena itu, promosi jabatan dipandang layak dirayakan. Bahkan dipestameriahkan. Bila perlu dengan berboros-boros. Ada sesuatu yang hilang dalami perlakuan ini. Yakni, kesejatian hakikat jabatan itu sendiri. Jabatan sebagai tanggung jawab, dengan setumpuk risiko yang sudah menunggu.

Dalam analogi yang diberikan sosiolog Ignas Kleden, kedudukan dan jabatan itu semacam racun. Ia harus ada justru untuk mengobati sakit. Ia bukan semacam gula-gula yang serbamanis. Sebagai racun, dosisnya harus tepat takar. Jika overdosis, ia bukan lagi obat yang menyehatkan tapi racun yang mematikan.

Di negeri ini, selain sebagai anugerah, kedudukan dan jabatan dipandang juga sebagai amanah. Kakan Depag Marsel Sarman pun menekankan poin amanah saat melantik dan mengambil sumpah 14 pejabat. Amanah itu sama dengan kepercayaan. Sayang, amanah sering hanya menjadi slogan hampa. Tanpa pemahaman yang benar tentang risiko-risikonya. Dengan kata lain, belum muncul kesadaran bahwa yang disebut sebagai amanah itu sesungguhnya juga penuh dengan ‘tabu’ atau pembatasan guna mengurangi atau meniadakan risiko.

Apa risiko itu? Banyak dan macam-macam. Yang pasti, lahir dari psikologi kekuasaan yang melekat pada setiap kedudukan dan jabatan. Kekuasaan cenderung memperbesar diri dan tidak batasi diri. Kekuasaan cenderung membenarkan diri dan tidak suka disalahkan. Lord Acton merumuskannya ringkas: power tends to corrupt. ‘Kekuasaan itu cenderung bobrok’.

Mempertimbangkan hal itu, kekuasaan harus dibatasi. Sumpah jabatan dapat dimaknai dalam konteks ini. Bahwa, sumpah itu ekspresi paripurna tekad dan ikrar pembatasan diri. Ia paripurna, karena diucapkan resmi dengan bersaksi kepada Tuhan. Oleh karenanya, jangan main-main dengan sumpah.

Apa yang disumpahkan hendaknya selalu diingat, dihayati, diamalkan. Boleh ditempelkan di cermin. Biar bisa bersolek sambil berulang sumpah. Namun, terpenting, hendaknya ia menjadi cermin itu sendiri. Buat berkaca setiap hari.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 29 Januari 2010

Tidak ada komentar: