Pemberantasan DBD di Flores
Oleh Frans Anggal
Di Flores, bukan hanya Sikka yang dilanda demam berdarah dengue (DBD). Ende juga. Namun, Ende tidak separah Sikka. DBD Sikka sudah masuk kejadian luar biasa (KLB). Ende? ”Belum dinyatakan KLB, masih dikatakan sebagai peningkatan kasus DBD”, kata Kadiskes Ende Agustinus Ngasu (Flores Pos Sabtu 13 Februari 2010).
Belum KLB, syukur alahamdulillah, dan insya Allah, tidak-lah. Namun, bercermin pada Sikka, Ende mesti waspada. Apalagi, mengutip kadiskes, status ”belum KLB” itu mengandung muatan tertentu. Berupa data dan tendensi. Datanya: sejak Januari hingga 12 Februari 2010, ’jumlah kesakitan’ (morbidity rate) 13, dan 12 di antaranya sembuh. Sedangkan ’jumlah kematian’ (mortality rate) nol. Tendensinya? Meningkat!
Kadiskes sendiri bilang, ”Belum dinyatakan KLB, masih dikatakan sebagai peningkatan kasus DBD.” Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ”peningkatan” sebagai ”proses meningkat”. Proses meningkat itu bisa lambat, bisa cepat, bisa terhenti, bisa terus, menuju puncak: KLB. Pada kasus Sikka, proses itu sangat cepat. Selasa 9 Februari, kadiskesnya bilang belum KLB. Keesokannya, Rabu 10 Februari, sudah KLB. Keesokannya lagi, Kamis 11 Februari, Maumere masuk zona merah DBD.
KLB punya kriterianya (Ditjen PPM & PLP 1987). Untuk daerah yang tidak pernah DBD, terjadinya kasus DBD pertama sudah merupakan KLB. Sedangkan untuk daerah yang pernah DBD, status KLB baru diberikan ketika terjadi peningkatan ’jumlah kesakitan’ dua kali atau lebih dibandingkan ‘jumlah kesakitan’ yang biasa terjadi pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya.
Ende sendiri pernah DBD. Sekarang kena lagi. Namun, belum masuk kategori KLB. Karena, ‘jumlah kesakitan’-nya belum dua kali lipat atau lebih dari ‘jumlah kesakitan’ pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya. Namun, tendesinya jelas, berdasarkan keterangan kadiskes. Terjadi peningkatan kasus! Ini perlu diwaspadai. Tidak boleh dianggap remeh. Kenapa? Data bisa menyesatkan.
Secara ‘parodi’, kita katakan begini. Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus itu kurang ajar. Mereka selalu luput dari sensus penduduk. Mereka tidak pernah lapor diri ke ketua RT: jumlahnya berapa, tinggalnya di mana. Setelah menggigit warga, mereka juga tidak bikin laporan ke petugas kesehatan setempat, apalagi ke kadiskes. Mereka takut kena foging, abate, dan 3M. Rupanya karena mereka tidak lapor, laporan juga tidak ada. Kalaupun ada, dianggap tidak ada. Ditutupi, direduksi, dibantah. Nanti, setelah banyak yang sakit dan mati, barulah runggu-rangga (kaget dan mulai hiruk-pikuk).
Ke-runggu-rangga-an menceminkan paradigma kesehatan seperti apa yang de facto kita anut. Terus terang, sebagian besar kebijakan pemberantasan DBD kita masih berkonteks retrospektif (setelah kejadian) dengan upaya kuratif (pengobatan). Belum berkonteks prospektif (sebelum kejadian) dengan upaya preventif (pencegahan).
Padahal, menurut WHO (2004), pemberantasan vektor DBD harus secara dini dan berkesinambungan. Konteksnya prospektif, upayanya preventif. Depkes (2003) juga bilang begitu. Paradigmanya keren: paradigma kesehatan yang baru. Pendekatannya lebih mengutamakan upaya preventif ketimbang upaya kuratif.
Tapi, siapa tidak tahu kelemahan bangsa kita. Tak nyambungnya ortodoksi (ajaran yang benar) dengan ortopraksi (praktik yang benar). Tak satunya kata dan perbuatan. De facto, upaya preventif yang mesti dini dan berkesinambungan belum mendapat penekanan. Kita masih menganut “paradigma runggu-rangga”. Suka kaget lalu hiruk-pikuk. Semoga Ende tidak begitu.
“Bentara” FLORES POS, Senin 15 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar