Kecelakaan Pekerja Anak di Sikka
Oleh Frans Anggal
Dua anak bersaudara sepupu, Antonius (12) dan Surgensius Wokur (14) asal Kloangbolat, Desa Egona Hagar, Kecamatan Mapitara, Kabupaen Sikka, tewas tertimbun pasir dan batu saat keduanya menggali pasir di salah satu bukit di desa itu, Senin petang 25 Januari 2010.
“Pasir dan batu yang digali ini untuk proyek jalan dan bangunan rumah,” kata Kapolsek Somba Say. “Pasir dan batu yang digali kedua korban dijual kepada kontraktor jalan,” kata Direktur Walhi NTT Carolus Winfridus Keupung, sebagaimana diwartakan Flores Pos Jumat 29 Januari 2010. “Saya minta, ke depan, kontrator atau pihak berwenang perketat lokasi pengambilan pasir dan batu,” katanya.
Menurut catatan Flores Pos, dalam empat tahun terakhir, ini kasus ketiga kecelakaan kerja yang menimpa anak. Tahun 2007, empat murid SDK Gapong di Manggarai tertimbun tanah saat membersihkan reruntuhan di samping rumah guru. Mereka disuruh istri kepala sekolah, di luar jam sekolah. Untung saja, jiwa mereka selamat.
Tidak demikian dengan kejadian 2008 yang menimpa murid SDK Roga di Ende. Murid disuruh guru ambil pasir di seberang jalan untuk bangun WC sekolah. Mereka ambil di ‘gua’ bekas kerukan, seratus meter dari sekolah. Saat mereka ada di dalam, ‘gua’ ambrol. Tiga tewas, empat luka-luka. Ini terjadi pada jam sekolah.
Ada beberapa persamaan pada ketiga kasus ini. Anak dipekerjakan. Di SDK Gapong, anak dipekerjakan untuk kepentingan pribadi guru. Di SDK Roga, anak dipekerjakan untuk kepentingan umum sekolah. Di Kloangbolat, anak dipekerjakan untuk kepentingan ekonomi keluarga.
Anak dipekerjakan, karena dianggap sebagai aset ekonomi. Kalau bukan untuk datangkan duit, minimal untuk tekan pengeluaran duit. Di Kloangbolat, Antonius dan Surgensius dipekerjakan untuk menghasilkan uang bagi keluarga. Di SDK Gapong dan SDK Roga, murid dipekerjakan guna menghemat kantong guru dan kantong sekolah.
Sebagai pekerja, anak miliki semacam ‘keunggulan komparatif’. Mereka lugu. Penurut. Karena itu, mereka mudah sekali dieksploitasi. Jangankan dibayar pake duit, dikasih gula-gula saja mereka mau. Malah, tidak jarang, mereka mau saja bekerja tanpa imbalan. Terutama kalau yang suruh itu orangtua atau guru.
Poin kita di sini, bukan tidak boleh anak bekerja. Kerja itu penting, perlu, dan berguna. Namun, hanya sejauh sebagai sarana aktualisasi diri anak. Itu pun harus dengan pengawasan, penilaian, dan perlindungan ketat. Yang pasti, jenis, waktu, tempat, dan tujuan pekerjaan tidak boleh sembarangan. Pekerjaan berisiko tinggi, seperti menggali pasir, jelas tidak laik dan tidak ramah anak. Demikian pula dengan pekerjaan yang bertujuan ekonomi bisnis: mendatangkan keuntungan atau menekan pengeluaran. Kenapa?
Yang mengendalikan tingkahlaku ekonomi adalah kepentingan serseorangan atau pribadi. Adam Smith (1957) katakan, penjual roti membuka tokonya bukan untuk memberi makan kepada mereka yang membutuhkan, tetapi untuk mendapat untung bagi dirinya. Dalam transaksi, kata para ahli ekonomi, apa yang disebut pareto optimal itu tidak pernah ada. Yaitu, keadaan di mana seorang mendapat keuntungan lebih banyak tanpa timbulkan kerugian pada pihak lain.
Dalam transaksi seperti itu, anaklah yang paling rentan. Ia mudah dirugikan demi menguntungkan pihak lain. Ia gampang dimanipulasi. Ini tidak boleh terjadi. Karena itu, anak harus dilindungi. UU Ketenagakerjaan, misalnya, tidak membenarkan mempekerjakan anak di bawah umur 15 tahun. Praktiknya? Antonius dan Surgensius baru berusia 12 dan 14 tahun. Siapa yang harus bertanggung jawab?
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 30 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar