Sidang Kasus Kematian Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Kapolres Ngada Moch Slamet menjamin persidangan kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr di PN Bajawa berjalan aman dan tertib. Tidak ada alasan mendasar untuk dipindahkan ke kupang. Ia menanggapi SMS Kadiv Advokasi Padma Indonesia Gabriel Goa (Flores Pos Senin 8 Februari 2010).
Isi SMS Gabriel Goa, pertama, meminta kapolda NTT mendesak kapolres Ngada mengusut tuntas pelaku dan otak penghinaan dan pelecehan terhadap martabat lembaga dan pribadi direktur Padma Indonesia serta pelemparan rumah orangtua staf Padma di Bajawa.
Kedua, meminta kajati, kepala PN NTT, dan muspida Ngada pertimbangkan peradilan di Kupang, demi peradilan yang fair tanpa tekanan massa, yang berakibat peradilan massa dan tidak menghargai HAM, bertindak anarkis, dan mengakibatkan pelanggaran HAM.
Poin kedua inilah yang ditanggapi kapolres. Tanggapannya berupa beberan fakta. Persidangan sudah tiga kali. Aman terkendali. Tak ada tekanan massa. Paling-paling teriakan spontan massa saat melihat terdakwa. Jadi, tak ada alasan mendasar pindahkan persidangan.
Dari redaksi SMS-nya, Gabriel Goa cemas, peradilan bisa tidak fair bila persidangan tetap dilangsungkan di Bajawa. Faktor yang dicemaskannya sebagai penyebab ke-tidak-fair-an itu adalah tekanan massa. Pertanyaan kita: apakah ada tekanan massa? Kapolres sudah menjawabnya: tidak ada.
Bahwa ada massa, ya. Ini sidang terbuka. Kasusnya pun ’menarik’. Karena itu, tidak mungkin tidak diminati. Hadirnya bahkan membludaknya massa harus dipandang sebagai hal wajar. Yang tidak wajar adalah: menganggap atau menyamakan kehadiran massa itu sebagai tekanan massa. Sama tidak wajarnya: menengarai kehadiran massa (yang dianggap atau disamakan dengan tekanan massa itu) akan mengakibatkan peradilan tidak fair.
Pada anggapan pertama, terjadi kelancangan bernalar. Pada anggapan kedua, terjadi peremehan terhadap lembaga pengadilan. Seakan-akan, majelis hakim PN Bajawa demikian bobroknya sehingga takluk taat penurut menghamba-hamba pada tekanan massa (kalau memang ada). Seakan-akan pula, masyarakat Ngada pengunjung sidang demikian tidak tahu dirinya sehingga mengintervensi sesukanya proses peradilan.
Dengan dua anggapan itu, segera terbayangkan dua hal berikut. Seolah-olah massa pengunjung sidang PN Bajawa sudah jadi mob. Yaitu, kerumunan (crowds) yang emosional, yang cenderung melakukan kekerasan (violence) dan tindakan destruktif. Yang juga terbayangkan di sini, seolah-olah kekuasaan PN Bajawa sudah jadi mobokrasi. Yakni, kekuasaan yang mudah saja dikendalikan oleh mob, oleh kerumunan yang emosional, irasional, dan anarkis.
Bahwa bisa terjadi seperti itu, bisa-bisa saja. Psikolog dan teoritikus Prancis Gustave Le Bon (1841-1931) punya teorinya. Menurut dia, perilaku agresif dan destruktif identik dengan eksistensi kerumunan. Dalam kerumunan, individualitas tenggelam dalam homogenitas. Rasionalitas individu juga melemah. Sebaliknya, kadar emosi dan irasionalitasnya menguat. Dalam kerumunan, individu cenderung berpikir, merasa, dan bertindak sama satu sama lain. Ini yang membuat mereka ‘kompak’ bertindak agresif dan destruktif.
Pertanyaan kita: sudah mengarah ke sanakah situasi di Bajawa? Sehingga, persidangan kasus Romo Faustin perlu dipindahkan ke Kupang? Kapolres sudah menjawanya: tidak. Ia beberkan fakta sebagai bukti. Nah. Experto credite, kata ungkapan Latin. ‘Percayalah pada yang telah terbukti’. Jangan percaya saja pada kecemasan. Kecemasan itu hanyalah nama lain dari ketakutan tidak berdasar.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar