Menyoal Kriteria Cabup-Cawabup Manggarai
Oleh Frans Anggal
Paket calon bupati-wabup Manggarai Aloysius Sukardan dan Valens Gampur, alias paket Syukur, bertatap muka dengan 500-an pemuda di Ruteng, Sabtu 30 Januari 2010 (Flores Pos Selasa 2 Februari 2010).
Kenapa tatap muka dengan pemuda? Cabup Alo Sukardan beralasan, pemuda itu tonggak perubahan. Dalam sejarah lahirnya Indonesia, pemuda itu pelopor dan penggagas. ”Coba kita ingat ikrar Sumpah Pemuda ....” Karena itu, dalam konteks lokal membangun Manggarai, kaum muda perlu diberi peran
Ketua Bapilu DPC Hanura Manggarai Yasualdus Priani Mbaut, yang hadir khusus saat itu, nyatakan mendukung. Hanura Manggarai, kata dia, punyai visi dan misi yang sama. Tampilkan kaum muda. ”Kaum muda harus tunjukkan sejarah untuk Kabupaten Manggarai dengan terlibat langsung dalam hajatan pemilu kada.”
Mudah terbaca, paket Syukur sedang menarik dukungan yang muda. Caranya: menghimpun mereka, berinteraksi dengan mereka, mengapresiasi peran sejarah mereka, dan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari mereka. Ini upaya pencitraan. Intinya: paket Syukur paketnya kaum muda. Pencitraan ini dikuatkan dengan dukungan politik Ketua Bapilu Hanura Yasualdus Priani Mbaut.
Hingga di situ, kampanyenya bagus. Kemasan belanganya cantik. Isi belanganya pun bergizi, penuh susu. Sayang, susu sebelanga itu dirusakkan oleh nila setitik. Nila diteteskan Ketua Bapilu Hanura Yasualdus Priani Mbaut. ”Paket ini ... merupakan kombinasi putra asli Manggarai yang dinilai layak untuk pimpin Manggarai ke depan,” katanya. ”Putra asli Manggarai”. Inilah nila setitik itu.
Cabup omong Sumpah Pemuda. Ketua Bapilu omong putra asli Manggarai. Tidak nyambung. Sumpah Pemuda adalah tonggak penting nasionalisme Indonesia, yang meski berbeda-beda tapi bersatu, dan meski bersatu tetap menghargai keberbedaan. Sumpah Pemuda adalah tonggak sejarah pedoman arah pluralisme dan multikulturalisme Indonesia.
Pluralisme menghargai keragaman manusia pada tingkat individu. Multikulturalisme menghargai keragaman manusia pada tingkat puak, kaum, golongan. Pluralisme dan multikulturalisme adalah ide yang tak bisa dipisahkan dari gagasan dasar demokrasi. Tanpa itu, sistem demokrasi kehilangan alasan mendasar untuk ada.
Karena itu, ketika Ketua Bapilu DPC Hanura Manggarai gunakan “putra asli Manggarai” sebagai kriteria cabup-cawabup, ia sebenarnya anti-demokrasi. Ia mengelus-elus “keturunan” seseorang, seolah masih hidup di masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Ia ketinggalan kereta demokrasi modern, yang hanya cukup melihat “kewargaan” (citizenship) seseorang, selain kualitasnya.
Tidak hanya anti-demokrasi. Ia juga ahistoris. Ia memutar jarum sejarah Indonesia kembali ke era sebelum Sumpah Pemuda. Era yang penuh kriteria “putra asli”, sehingga para pemuda terkotak-kotak dalam Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Celebes.
Dari sisi tilik demokrasi dan sejarah, kriteria “putra asli” itu langkah mundur. Apalagi kalau kita tatap ke depan. Kita sudah masuki struktur planeter. Mengutip YB Mangunwijaya (1981), barangkali generasi mendatang sudah malu untuk berkata “Kami bangsa Indonesia”, seperti kita sekarang juga segan untuk menonjolkan diri “Saya orang Jawa” atau “Kami suku Batak”. Barangkali anak cucu kita nanti sudah merasa diri warga dunia tanpa problem kebangsaan. Bahkan mungkin nasionalisme akan dianggap sebentuk kesukuan, terkebelakang, dan nostalgia masa lampau.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 3 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar