Kekerasan Seksual terhadap Anak di Nagekeo
Oleh Frans Anggal
Seorang ketua RT di Watukesu, Kelurahan Danga, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, menghamili seorang siswi SMA. Korban masih trauma. Ia belum mau ke sekolah. Pelaku sudah ditahan di Polsek Aesesa sejak keluarga korban melaporkannya 2 Februari 2010 (Flores Pos Selasa 23 Februari 2010).
Kasus ini mulai terungkap ketika keluarga melihat gejala tertentu pada diri korban. Keluarga bawa dia ke RSUD Ende untuk diperiksa. Hasilnya, positif hamil. Ketika ditanya siapa ayah bayi, korban menyebut nama ketua RT. Semua tindakan seksual ketua RT terhadap dirinya ia catat di buku harian. Selain tidak sekali dua, kejadiannya sudah sejak korban masih duduk di bangku SD.
Sejak SD! Jelas, ini kekerasan seksual terhadap anak. Baru tersingkap, karena umumnya kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari tiga fase. Fase perjanjian: pelaku iming-imingkan sesuatu kepada anak, berupa uang dll. Fase rahasia: “Jangan bilang siapa-siapa!” Biasanya disertai ancaman. Fase penyingkapan: biasanya terjadi tak disengaja. Pada kasus di atas, penyingkapan dimulai ketika orangtua melihat ada sesuatu yang ‘lain’ pada diri anak.
Dengan pola seperti itu, tidak heran, kekerasan seksual terhadap anak umumnya baru terungkap setelah terjadi berulang-ulang. Pada kasus di atas, terjadinya tidak hanya berkali-kali, tapi juga bertahun-tahun. Sejak korban masih SD. Dengan frekuensi dan durasi seperti itu, betapa (akan) besar dan panjangnya efek psikologis bagi si anak.
Menurut banyak kajian, hingga dewasa, anak korban kekerasan seksual biasanya akan memiliki rasa harga diri rendah. Menderita depresi. Memendam rasa bersalah. Sulit percayai orang lain. Kesepian. Sulit bangun dan jaga hubungan dengan orang lain. Tidak berminat terhadap seks. Ekstrem lain bisa terjadi: terjerumus ke pelacuran, alkohol, dan obat terlarang. Juga, yang laki-laki, cenderung lakukan kekerasan seksual juga kepada anak-anak.
Dengan efek psikologis seperti itu, sudah cukup bagi kita untuk katakan: betapa jahatnya tindak kekerasan seksual terhadap anak! Karenanya, masuk akal, hukum positif kita tidak menggolongkannya sebagai delik aduan. Artinya, asalkan diketahui kasusnya, polisi harus segera bertindak, tidak tunggu pengaduan dari korban atau keluarga korban. Dalam hal bukan sebagai delik aduan, kasus kekerasan seksual terhadap anak sama dengan kasus pembunuhan. Jangan tunggu ada laporan polisi dulu baru polisi bertindak.
Bagaimana dengan kasus di atas? Justru sebaliknyalah yang terjadi. Keluarga korban heran, Polsek Aesesa minta lagi surat pengaduan dari keluarga korban. Yang benar saja, Polsek Aesesa! Apa tidak tahu UU? Atau sengaja tidak mau tau karena sudah tau sama tau dengan pihak yang kita tidak tau?
Dari penuturan korban, jelas, ini kasus kekerasan seksual terhadap anak. Artinya, bukan delik aduan. Salain itu, kasusnya sudah di tangan polisi. Pelakunya pun sudah ditahan. Untuk apa lagi minta surat pengaduan dari keluarga korban? Apa mau ulur-ulur waktu? Agar diselesaikan oleh waktu?
Kalau tunggu diselesaikan waktu, buat apa ada hukum dan UU? UU-nya jelas: UU 23/2003 tentang Perlindungan Anak dan KUHP. Meski, kita tetap tidak puas dengan UU 23/2003 ini. Sebab, penyelesaian kasusnya hanya berurusan dengan pelaku. Korban tidak dapat perhatian yang cukup. Padahal, korban butuhkan keadilan dan pendampingan untuk pemulihan trauma psikologis.
Karena itu, demi si anak, tidak cukup penyelesaian pidana saja. Perlu penyelesaian perdata juga. Hukum pidana hanya menghukum pelaku. Bagaimana dengan nasib korban? Di sini perlunya hukum perdata. Perlu, menggugat ganti rugi atas penderitaan materiil dan immateriil.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar