Pemilukada dan Penundaan Bantuan Sosial
Oleh Frans Anggal
Bupati Manggarai Christian Rotok hentikan sementara pemberian bantuan sosial. Bantuan pemerintah itu baru akan diberikan kembali setelah pencoblosan pemilukada. Alasan: pemberian sekarang selalu dinilai oleh kelompok-kelompok tertentu sebagai ’politik uang’ dari paket Chris Rotok-Deno Kamilus (Credo) selaku incumbent. Padahal, bantuan sosial itu program rutin pemerintah.
”Saya minta instansi-instansi untuk sementara tidak mencairkan dahulu bantuan-bantuan sosial atau hibah tahun ini. Bantuan baru boleh diberikan usai pemilukada nantinya. Ini perlu diberitahukan terbuka. Karena kalau kita berikan saat-saat sekarang, jangan sampai dinilai money politics,” katanya via SMS ke wartawan Flores Pos Christo Lawudin (Flores Pos Kamis 18 Februari 2010).
Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diri Bupati Rotok? Sebagai incumbent, ia mengalami ’sengketa kepentingan’ (conflict of interest). Kepentingannya sebagai bupati di satu sisi, dan kepentingannya sebagai calon bupati di sisi lain.
Sebagai bupati, kepentingannya adalah menyukseskan program (rutin) pemerintah. Satu di antaranya, itu tadi, memberi bantuan sosial. Sedangkan sebagai calon bupati, kepentingannya adalah menyukseskan program Credo memenangkan pemilukada.
Dalam sengketa kepentingan ini, kepentingan mana yang ia nomorsatukan? Kepentingannya sebagai calon bupati! Simak alasannya. ”Kalau kita berikan (bantuan sosial) saat-saat sekarang, jangan sampai dinilai money politics.” Ini politik pencitraan. Demi menjaga citranya sebagai calon bupati, ia menunda program rutinnya sebagai bupati.
Dengan begitu, kepentingan sebagai bupati ia nomorduakan. Dan, karena kepentingan sebagai bupati itu berkenaan langsung dengan kepentingan umum, maka harus dikatakan pula: kepentingan umum ia nomorduakan. Demi menjaga citra Rotok-yang-calon-bupati maka Rotok-yang-bupati menunda program kepentingan umum. Yang umum ia korbankan demi yang khusus. Manggarai ia korbankan demi Credo.
Di sini, Bupati Rotok keliru. Selain salahi etika, ia melukai demokrasi sampai ke jantungnya. Dalam jantung demokrasi terkandung salah satu konsep penting. Kehendak rakyat harus menjadi satu-satunya dasar otoritas pemerintah. Pada keputusannya itu, sebaliknya yang terjadi. Dasarnya bukan kehendak rakyat, tapi kehendak pribadinya, entah sebagai bupati-yang-calon-bupati ataukah sebagai calon-bupati-yang-bupati.
Secara formal, penundaan bantuan sosial itu tidak atas konsultasi dengan DPRD. Secara informal, tidak mungkin juga atas konsultasi langsung dengan rakyat. Kalau toh dikonsultasikan, baik wakil rakyat maupun rakyat pasti tidak bakal setuju. Ini soal akal sehat saja: wakil rakyat dan rakyat mana yang senang bantuan sosial bagi masyarakat ditunda-tunda?
Kalau begitu, dengan siapakah Bupati Rotok berkonsultasi sehingga lahir keputusan keliru itu? Kita tidak tahu. Jangan-jangan ia tidak berkonsultasi. Tapi langsung bereaksi spontan personal saja, karena mungkin sudah tidak tahan lagi dengan berbagai rumor lawan politik. Kalau itu yang terjadi, kasihan. Ia menjauh, tidak hanya dari perbedaan pendapat, tapi juga dari kebenaran.
Menurut Glenn Tinder (1979), kebenaran tidak dapat digenggam oleh orang seorang sendirian. Kebenaran pada hakikatnya adalah ’sebuah realitas yang dimiliki bersama’ (a shared reality). Kebenaran kita masuki melalui dialog. Perbedaan pendapat, dengan demikian, adalah rahmat. Melaluinya, kebenaran muncul, dan matang, karena teruji.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 19 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar