16 Februari 2010

Flotim dan Kapitan Perahu

Menimbang Figur Pemimpin Flotim

Oleh Frans Anggal

KM Torani 2, milik Pemkab Lembata, menabrak kapal nelayan, KM Mitra Abadi, di depan Dermaga Larantuka, Flotim, Selasa malam 2 Februari 2010. Mitra Abadi tenggelam. Awaknya selamat. Sedangkan Torani 2 hanya rusak sedikit pada bagian haluan. Penumpangnya, Bupati Ande Manuk dan Nyonya, selamat (Flores Pos Kamis 4 Februari 2010).

Dua pekan sebelumnya, 22 Januari 2010, juga di perairan Dermaga Larantuka, sebuh kapal tenggelam. KM Siti Nirmala. Milik Pemkab Flotim. Lima tahun kapal ini tidak digunakan. Jadilah ia penghias pelabuhan. Rupanya, karena “merasa” dimubazirkan oleh Bupati Simon Hayon dan Wabup Yoseph ‘Yosni’ Laga Doni Herin, kapal yang dibeli pada masa Bupati Felix Fernandez dan Wabup John Payong Beda ini akhirnya tenggelam sendiri.

Pasti hanya kebetulan, tiga kapal kini “bersanding” di perairan yang sama. Siti Nirmala, Torani 2, Mitra Abadi. Kalau diperbandingkan, ketignya punya kesamaan, juga perbedaan. Menariknya, ketiganya bisa diperbandingkan dengan menggunakan “formula 1:2”. Satu kapalnya begini, dua kapalnya begitu.

Simak saja. Satunya milik masyarakat: Mitra Abadi, duanya milik pemerintah: Torani 2 dan Siti Nirmala. Satunya di atas air: Torani 2, duanya di bawa air: Mitra Abadi dan Siti Nirmala. Satunya ditahan oleh polisi: Torani 2, duanya ‘ditahan’ oleh laut: Mitra Abadi dan Siti Nirmala. Satunya menabrak: Torani 2, duanya ditabrak: Mitra Abadi oleh Torani 2, Siti Nirmala oleh gelombang. Satunya tak berpenumpang: Siti Nirmala, duanya berpenumpang: Mitra Abadi dan Torani 2.

Perbandingan ini bisa menyedot perhatian kita pada banyak hal. Tapi sudi kiranya kita fokus pada satu ini: laut dan kapal. Agar tidak jauh-jauh dari Flotim, ada baiknya laut dan kapal itu kita kaitkan dengan isu paling aktual saat ini. Pemilu kada. Kita cari figur pemimpin Flotim ke depan, yang “harus” ada kaitannya dengan laut dan kapal. Apalagi, Flotim sesungguhnya kabupaten kelautan, bukan kabupaten kepulauan. Flotim itu laut yang ditaburi pulau-pulau, bukan pulau-pulau yang dikelilingi laut.

Kata archipelago, yang di Indonesia diterjemahkan (keliru) jadi ‘wilayah kepulauan’, sesungguhnya bermakna ‘wilayah kelautan’. Kata archipelago berasal dari kata Yunani, arch (besar, utama) dan pelagos (laut). Nah, sebagai “kabupaten laut utama”, Flotim butuhkan pemimpin yang “harus” ada kaitannya dengan laut dan kapal atau perahu. Pemimpin yang punya etos kapitan perahu!

Konsep “kapitan perahu” dikemukakan pertama kali oleh Prof Mattulada, berdasarkan penelitiannya atas budaya pesisir di Sulawesi. Konsep ini dikutip Ignas Kleden dalam pidato kebudayaannya “Seni dan Civil Society” di TIM, Jakarta, 10 November 2009.

Dalam etos kapitan perahu, seorang pemimpin perahu tidak mungkin didrop begitu saja dari atas, tetapi harus bertumbuh dari bawah dan mencapai pengetahuan dan kematangan tertentu yang dipersyaratkan.

Dalam etos kapitan perahu, seorang pemimpin diharuskan mampu mengambil keputusan secara cepat dan mengoreksi keputusan dalam waktu singkat. Keragu-raguan dalam mengambil keputusan, dan kelambanan atau keengganan untuk mengoreksi keputusan yang salah, akan berakibat fatal bagi keselamatan perahunya dan hidup para penumpang.

Dalam etos kapitan perahu, ketika menghadapi bahaya karamnya perahu, seorang pemimpin harus menjadi orang terakhir yang meninggalkan perahu, setelah penumpang lain mendapat kesempatan menyelamatkan diri atau mendapat pertolongan semestinya.

Etos kapitan perahu patut dipertimbangkan dalam pemilu kada Flotim. Selamat menimbang-nimbang!

“Bentara” FLORES POS, Jumat 5 Februari 2010

Tidak ada komentar: