22 Februari 2010

Dari Kisah Sandra Modh

Soal Pangan Lokal

Oleh Frans Anggal

Mahasiswi Universitas Oxford, Inggris, Sandra Modh, suka ubi dan pisang rebus. Ia sedang lakukan penelitian di Pulau Palue. ”Saya sudah empat bulan lebih berada di tengah warga Palue. Selama di sana, saya sangat senang makanan lokal seperti ubi dan pisang rebus” (Flores Pos Sabtu 20 Fabruari 2010).

Ubi dan pisang, makanan harian warga Palue. Selaku peneliti yang live in di sana, Sandra Modh mau tidak mau ikut makan apa yang warga makan. Awalnya pasti tidak mudah. Butuhkan penyesuaian mulut, hidung, perut. Lama-lama bisa. Ala bisa karena biasa. Malah tidak hanya bisa, juga suka. Disukai karena dikenal. Dikenal maka disayang.

Yang dialami Sandra Modh sesungguhnya hal biasa. Yang menarik: kenapa hal yang objektif biasa saja ini dianggap luar biasa sehingga diberitakan di media? Rupanya, secara subjektif kita miliki mindset tertentu tentang makanan lokal kita. Bahwa, makanan lokal itu kuno, tidak peka zaman, tidak sesuai dengan kebudayaan tubuh modern. Karena itu, ketika orang dari dunia pertama menyukainya, kita bangga, kaget, dan menganggapnya luar biasa.

Dengan mindset yang mungkin sudah dicekoki pesan-pesan ekonomi global, kita mengenal makanan yang sesuai dengan kebudayaan tubuh modern. Yaitu, makanan yang, selain aman, juga efisien. Pengolahannya tidak seperti merebus ubi atau pisang di Palue. Persiapannya tidak perlukan waktu lama (ready to serve, ready to cook, ready to eat). Singkatnya, ’makanan cepat saji’ (fast food).

Tidak mengherankan, dari Sabang sampai Marauke, fast food mi instan masuk hingga ke kampung-kampung. Kisahnya sudah sejak awal Orde Baru, tulis Monika Eviandaru dkk dalam Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global (Kanisius 2001). Seandaianya Soeharto tidak meresmikan PT Boagasari Flour Mills milik Liem Sioe Liong, barangkali akan lain ceritanya. Bisa jadi, mi, roti, biskuit, dan bahkan gorengan, yang merupakan produk-produk turunan gandum, tidak akan dengan mudah dijumpai di mana-mana.

Bogasari, salah satu divisi utama PT Indofood Sukses Makmur yang mulai berproduksi tahun 1971, memang diharapkan menyediakan jenis makanan lain bagi perut orang Indonesia agar tidak tegantung pada beras, yang pada waktu itu diimpor besar-besaran. Demikianlah politik pangan Orde Baru membuka perkenalan perut Indonesia dengan ’cita rasa dunia pertama’ dan sekaligus berarti membuka diri terhadap peradaban dan aturan main ekonomi global.

Di dunia pertama seperti AS, kebudayaan makan(an) sudah jauh berubah. Semula, sajian utuh olahan daging hewan (kepala hingga ekor) dianggap biasa. Namun, kemudian dirasa, ini kurang beradab, seperti makan binatang saja. Maka, bagian tertentu dari hewan ditabukan. Dalam perkembangan selanjutnya, yang dimakan adalah sekerat daging anonim. Kini, bentuk daging pun tidak tampak. Cukup diimajinasikan. Yang penting rasanya. Maka lahirlah makanan cepat saji dengan rasa sapi, rasa ayam, dst.

Makanan seperti ini pun sudah masuk ke kampung-kampung kita. Mi instan rasa soto sapi, mi instan rasa ayam, dll. Tanpa disadari, kita sudah masuk dalam kebudayaan makan(an) global. Rupanya karena itulah, ketika Sandra Modh menyatakan sangat senang makanan lokal Palue seperti ubi dan pisang rebus, kita bangga bercampur kaget dan menganggapnya luar biasa.

Sayangnya, dengan bangga bercampur kaget itu, kita tidak lantas semakin mencintai makanan lokal kita. Kita terlanjur menganggapnya kuno, tidak peka zaman, tidak sesuai dengan kebudayaan tubuh modern. Seandainya kita bisa seperti Sandra Modh ....

“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 Februari 2010

Tidak ada komentar: