Ketika Bahasa Mengaburkan Fakta
Oleh Frans Anggal
Di Flotim, tanaman jagung kering semua. Di Ende, ratusan hektare tanaman pangan gagal tumbuh. Penyebabnya, kemarau panjang atau curah hujan yang tidak menentu. Di Manggarai dan Manggarai Timur, nasib tanaman jagung tiada bedanya. Bukan karena kemarau, tapi karena hama belalang kembara. Dampak selanjutnya bisa ditebak. Menurut data sementara, 43 desa pada 6 kabupaten di NTT terancam rawan pangan (Flores Pos Kamis 25 Februari 2010).
Kemarau panjang. Hama. Ketika keduanya datang, sendiri-sendiri atau bersama-sama, serentetan akibat pun menimpa petani. Gagal tanam, gagal tumbuh, gagal panen, rawan pangan, gizi buruk, busung lapar, hingga kematian. Kisahnya selalu berulang, hampir setiap tahun. Sejalan dengannya, berulang pula berbagai bentuk pangaburan dan penguburan fakta.
Biasanya, fakta-fakta ‘memalukan’ itu dikaburkan dan dikuburkan dengan bahasa. Lazimnya, berupa bantahan. Ditandai dengan pemakaian “tidak”, “bukan”, “belum” terhadap hal ‘memalukan’ itu. Lainnya, berupa penjelasan yang justru tidak jelas. Atau, berupa penghalusan bahasa (eufemisme). Kelaparan (dikaburkan atau dikuburkan sehingga) disebut rawan pangan. Rawan pangan (dikaburkan atau dikuburkan sehingga) disebut rawan daya beli. Dst, dst.
Sekadar contoh. Ketika menyebutkan 43 desa pada 6 kabupaten di NTT terancam rawan pangan dalam jumpa pers di Kupang, Rabu 24 Februari 2010, Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT Petrus Langoday memberikan penjelasan tambahan. “Gagal panen tidak identik dengan rawan pangan,” katanya.
Pertanyaan kita: siapa juga yang samakan gagal panen dengan rawan pangan? Gagal panen itu satu hal. Sedangkan rawan pangan itu hal lain. Gagal panen itu keadaan tanaman yang tidak memberikan hasil alias puso. Sedangkan rawan pangan, keadaan manusia yang tidak miliki cukup pangan. Keduanya sangat jelas tidaklah sama. Hanya yang tidak waras yang menyamakannya begitu saja.
Pertanyaan selanjutnya: kenapa hal yang sudah sangat jelas itu mesti dikatakan untuk ‘menjelaskan’ fakta 43 desa pada 6 kabupaten di NTT terancam rawan pangan? Adalah jauh lebih berguna mengatakan “Gagal panen dapat mengakibatkan rawan pangan” ketimbang mengatakan “Gagal panen tidak identik dengan rawan pangan.” Kenapa?
Pernyataan pertama itu berguna, karena dengannya orang dapat diingatkan untuk bersiaga mengantisipasi rawan pangan. Sebaliknya pernyataan kedua, selain tidak berguna, juga ‘berbahaya’. Orang bisa dininabobokan. Seolah-olah: gagal panen tidak apa-apa. Karena, “Gagal panen tidak identik dengan rawan pangan.”
Pertanyaan terkahir: kenapa pernyataan yang tidak berguna bahkan ‘berbahaya’ itu mesti diucapakan? Kita patut dapat menduga, ini salah satu bentuk pengaburan atau penguburan fakta. Rawan pangan, meski masih berupa potensi, jauh-jauh hari sudah dikaburkan atau dikuburkan. Padahal, itu dampak logis dan rutin di NTT, setiap tahun. Kalau sudah kemarau panjang dan serangan hama, fakta buruk ini menyusul: gagal tanam, gagal tumbuh, gagal panen, rawan pangan, gizi buruk, busung lapar, hingga kematian.
Semua fakta buruk itu tentu tidak bisa dicegah, diatasi, dan dihilangkan dengan retorika bantahan, penjelasan, dan penghalusan bahasa. Lalu, kenapa hal itu selalu diulang? Apakah ini penyakit bawaan setiap kekuasaan? Yang mereduksi nasib rakyat menjadi sekadar kertas dan angka-angka?
Penyair Dylan Thomas mungkin benar. Kekuasaan itu … The hands that signed the paper (tangan yang menandatangani kertas). Tangan tidak punya hati. Tangan tidak peka akan derita rakyat. Hands have no tears to flow (tangan tak punya airmata yang akan mengalir).
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar