Eksplorasi Tambang Emas di Manggarai Barat
Oleh Frans Anggal
Kabupaten Mabar kini ‘asyik’ dengan pemilukada. Isu berseliweran. Dari soal cabup dan cawabup, parpol dan koalisi parpol, hingga mutasi di lingkup pemkab. Hajatan lima tahunan ini bisa bikin banyak orang lupa akan banyak hal. Termasuk, melupakan kasus hukum kelas berat yang semestinya mendapat prioritas penanganan.
Lihat, misalnya, kasus tambang emas di Batu Gosok dan Tebedo. Sudah mencuat sejak April 2009. Dua bulan lagi, berultah satu tahun. Eksplorasi di Batu Gosok melanggar perda tata ruang. Sedangkan eksplorasi di Tebedo merambah hutan lindung. Berbagai aksi telah dilakukan forum Geram dan berbagai elemen masyarakat. Terakhir, Geram tempuh proses hukum.
Hasilnya? Sudah lamban, sepotong-sepotong pula. Polres Mabar baru memeriksa ’krucu-krucu’, para kepala dinas terkait. Bupati pemberi izin dan kuasa pertambangan pelaku eksplorasi belum tersentuh samasekali. Kenapa?
Untuk bupati, alasan kapolres jelas. Sedangkan untuk kuasa pertambangan, alasannya kabur air. Bupati belum diperiksa, katanya, karena belum ada izin dari presiden. Bisa dimengerti, dalam konteks UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 36 ayat 1 menyatakan: tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik.
Nah, bagaimana kalau belum ada persetujuan presiden? Ya, belum boleh diperiksa. Tampaknya kapolres memeluk erat ayat ini. Sampai-sampai, ia ’lupa’ baca ayat selanjutnya. Ayat 2 menyatakan: dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
Surat penyidik ke presiden tertanggal 14 November 2009. Sudah tiga bulan lebih tuh. Di era transportasi dan komunikasi selancar sekarang, akal sehat kita bilang: surat itu sudah pasti tiba tiga bulan lalu. Sudah lewat jauh dari 60 hari. Maka, seharusnya sang bupati sudah diperiksa. Tidak bisa lagi berdalih tunggu izin presiden. Izin presiden tidak relevan lagi karena batas waktu yang ditetapkan UU terlampaui. Kenapa tetap ngotot tunggu sesuatu yang mubazir?
Dengan ini, akal sehat kita juga mau bilang: tidak ada alasan (lagi) untuk tidak segera memeriksa sang bupati. Bupati Pranda harus segera diperiksa! Pemilukada sekalipun tidak bisa dijadikan dasar penundaan penegakan hukum. Malah sebaliknya. Pemilukada mengharuskan percepatan penegakan hukum itu. Terutama, bila kasusnya berkenaan dengan diri kandidat. Dari kacamata demokrasi dan pendidikan politik, ini berguna sebagai informasi bagi calon pemilih agar mereka bisa menjatuhkan pilihan yang tepat.
Dalam istilah Milan Kundera, penegakan hukum di sini dapat kita pandang sebagai salah satu cara ’melawan lupa’. Melalui novelnya The Book of Laughter Forgetting (Buku tentang Ketawa dan Lupa), sastrawan Chekoslowakia ini mengabadikan kalimat yang kemudian jadi terkenal. The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting. “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingat melawan lupa.”
Pesan Kundera penting. Bangsa kita bangsa pelupa kelas berat. Ketika pemilu, pilkada, atau pemilukada datang, kita mudah lupa akan rekam jejak buruk para kontestan dan kandidat. Kita gampang dikuasai lewat ‘proyek lupa’ besar-besaran bernama sosialisasi dan kampanye. Apalagi kalau, seperti yang terkesan di Mabar, aparat penegak hukumnya ikut jadi kaki tangan. Ini tak boleh dibiarkan. Terhadap ‘proyek lupa’, hanya ada satu kata: Lawan!
“Bentara” FLORES POS, Senin 1 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar