Ketika Bupati Tolak Permintaan DPRD
Oleh Frans Anggal
DPRD Lembata meminta Bupati Andreas Duli Manuk menyerahkan dokumen proyek tahun 2006-2009 untuk kepentingan penyelidikan oleh pansus yang telah dibentuk DPRD. Bupati menolak. Dengan alasan, DPRD menjalan fungsi pengawasan, bukan pemeriksaan (Flores Pos Kamis 18 Maret 2010).
Menurut bupati, permintaan dokumen proyek hanya boleh bila sudah ada indikasi penyimpangan. Kalaupun ada penyimpangan, yang lakukan penyelidikan bukan pansus DPRD, tapi pengawas fungsional. Ia merujuk Permendagri No. 13/2006 dan perubahannya No. 59/2009 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah
Di seberang lain, pansus DPRD pedomani UU No 27/2009 dan peraturan tentang pengawasan auditor negara. ”Saya minta bupati baca lagi (UU).... Tidak ada pengawasan tanpa pemeriksaan,” kata Wakil Ketua Pansus II Fredy Wahon. Ia dan Ketua Pansus I Philipus Bediona menilai, penolakan itu simbol perang terbuka bupati vs DPRD. Juga, menunjukkan ketakutan bupati akan terbongkarnya aneka kasus proyek. Karena itu, DPRD perlu bentuk panitia angket. Panitia ini berhak menyita dokumen dan memanggil paksa pihak terkait.
Simaklah penilain Fredy Wahon dan Philipus Bediona itu. Keduanya bilang, pertama, penolakan bupati itu simbol perang terbuka melawan DPRD. Kedua, penolakan itu juga menunjukkan ketakutan bupati. Lho, ini logikanya bagaimana? Kalau penolakan itu simbol perang, berarti bupatinya berani. Penolakan itu menunjukkan keberaniannya. Kalau demikian, tidak tepat mengatakan lagi bahwa penolakan itu menunjukkan ketakutan sang bupati. Masa ada bupati yang berani berperang tapi takut.
Kedua pernyataan itu mesti opsional. Tidak bisa dua-duanya. Tinggal pilih, mana yang benar atau yang lebih mendekati kebenaran. Tentu konteksnya harus jelas dulu. Dalam sengketa ini, konteksnya sudah jelas. Berjibun proyek bermasalah 2006-2009. Proyeknya pemerintah. Yang tidak satu pun kasusnya diselesaikan pemerintah. Yang akhirnya mendorong DPRD membentuk pansus.
Dalam konteks ini, apriorinya jelas. Pemerintah sebagai pihak bermasalah. Sedangkan DPRD sebagai pihak yang hendak selesaikan masalah, secara politik. Untuk selanjutnya merekomendasikan penyelesaiannya secara hukum kepada polisi dan/atau jaksa. Dengan konteks seperti ini, masuk akalkah bupati sang kepala pemerintah, yang notabene diapriorikan sebagai pihak bermasalah, berani mengobarkan perang melawan DPRD?
Maka, kembali ke opsi tadi, yang benar atau lebih mendekati kebenaran adalah pernyataan kedua. Bahwa, penolakan bupati terhadap permintaan DPRD menunjukkan ketakutan sang bupati akan terbongkarnya aneka kasus proyek yang hendak diselidiki pansus. Kalau begitu persoalannya, layakkah yang sudah, sedang, dan akan terjadi nanti disebut perang?
Kita pastikan, itu bukan perang: satu meniadakan yang lain. Bahkan, karena ini politik, mungkin juga bukan pertandingan: satu mengalahkan yang lain. Barangkali akan lebih mirip perlombaan: satu meninggalkan yang lain. Dalam sengeket begini, DPRD mudah kucar-kacir. Terutama ketika kasus mulai ditransaksikan. Satu meninggalkan atau mendahului yang lain.
Kita berharap DPRD Lembata konsisten. Tidak usahlah kobarkan perang terbuka. Jangan sampai, perangnya terbuka, ’perdamaian’-nya tertutup. Mulai sajalah bekerja. Kalau bupati hambat langkah pansus, bentuklah panitia angket. Sebab, kalau anjing menggonggong, kafilah berlalu, itu salah siapa? Salahnya anjing! Kalau menggonggong sudah tidak mempan, kenapa tidak menggigit!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar