Penipuan Jelang UAS dan UN di Ende
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 19 siswa SMP di Ende jadi korban penipuan Tibertius Ma’u alias Adi Us (24). Kepada mereka Adi Us janjikan kunci jawaban UAS dan UN, asalkan mereka setor uang dan pulsa Rp50-400 ribu. Aksinya sejak Oktober 2009. Mulai terbongkar ketika tiga siswa merasa ditekan. Adi Us sering ancam tidak akan beri kunci jawaban apabila uang dan pulsa terlambat disetor. Tiga siswa ini lapor ke polisi. Adi Us ditangkap (Flores Pos Senin 1 Maret 2010).
Siapakah Adi Us? Berita Flores Pos hanya menyebutnya warga Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah. Dia bukan guru. Bukan pegawai sekolah. Bukan pula pegawai dinas pendidikan. Jadi, dia tidak ada sangkut-pautnya dengan UAS dan UN. Koq bisa-bisanya dipercaya oleh para siswa!
Suksesnya Adi Us menipu (meski akhirnya tertangkap) menujukkan, tidak hanya jahat, dia juga pintar. Sebaliknya, gampangnya ke-19 siswa ditipu menunjukkan, tidak hanya baik (polos-lugu), mereka juga tolol. Kunci sukses penipuan justru terletak di situ. Pelakunya pintar tapi jahat. Korbannya baik tapi tolol. Hampir semua tragedi berakar pada gabungan itu. Di depan si pintar-jahat, si baik-tolol selalu jadi ayam sayur.
Pada kasus di atas, si baik-tolol berada dalam kecemasan jelang UAS dan UN. Mereka butuhkan pegangan: kalau bukan kepastian, paling kurang optimisme. Si pintar-jahat tahu itu. Ia juga tahu apa yang paling andal mengatasi kecemasan itu: kunci jawaban UAS dan UN! Kunci ini tidak hanya berikan optimisme, tapi juga kepastian lulus. Transaksi pun berjalan.
Menjadi pertanyaan kita: mengapa untuk mengatasi kecemasan UAS dan UN, para siswa bukannya semakin tekun belajar, tapi malah mencari kunci jawaban? Ada yang telah terkikis dalam dunia pendidikan kita. Yakni, apa yang dalam bahasa Jerman disebut Ausdauer: ketekunan, ketabahan, daya tahan, stamina. Maunya yang serbapintas, serbacepat, serbagampang. Bila perlu, seperti burung di udara, tidak menanam tapi menuai. Mental instan!
Mental ini tidak lahir tiba-tiba. Semuanya melalui proses. Lewat pengalaman, pencerapan, pembelajaran, komunikasi, dan interaksi dengan lingkungan: di rumah, di sekolah, di masyarakat. Karena yang begitu yang selalu mereka lihat, maka yang begitulah yang mereka anggap baik dan benar, sehingga yang begitu jugalah yang mereka lakukan. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bahkan, buah itu menujukkan pohonnya. Pohon keluarga, pohon sekolah, pohon masyarakat, pohon bangsa, pohon negara.
Karena itu, kalau banyak pelajar sekarang ini bermenal instan, janganlah kaget. Masalahnya di pohonnya itu. Negara ini negara para pencinta jalan pintas. Korupsi, sogok-menyogok, jual beli ijazah, dst. Bukankah masuk akal kalau buah dari pohon seperti ini bercitarasa instan pula?
Jika begitu soalnya, kiranya kita tidak pura-pura terkejut kalau akhirnya harus dikatakan: kasus 19 siswa SMP di Ende itu bukanlah satu-satunya, dan bukan pula yang pertama kali. Tiap tahun, jelang atau saat UN, selalu ada skandal. Kalau bukan jual beli kunci jawaban, ya pembocoran soal. Kalau bukan oleh orang luar seperti pada kasus di atas, ya oleh orang dalam. Dan kalau sudah libatkan orang dalam, jangan harap kasusnya sampai di tangan polisi. Kenapa?
Ada semacam solidaitas tahu sama tahu sambil tutup mulut demi jaga nama. Siswa jaga nama guru, guru jaga nama sekolah, sekolah jaga nama dinas pendidikan, dinas pendidikan jaga nama daerah, dst. Dalam kasus di atas, rupanya Adi Us tahu “rahasia umum” ini. Dia coba nimbrung, cari untung. Mulanya untung, ujungnya buntung. Kenapa? Aksinya tidak tergaransi baik. Kenapa? Karena dia bukan orang dalam!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 2 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar